Istilah toron atau mudik (pulang kampung atau pathobin) rasanya merupakan hal yang biasa karena bisa terjadi di kalangan berbagai bangsa dan etnis di dunia. Istilah toron merupakan kebalikan dari istilah onggha, dalam arti migrasi ke tempat lain yang dituju (emigrasi). Dengan demikian muncul istilah toron, tidak lepas karena ada aktivitas perpindahan (onggha) yang mendahului. Bagi etnis Madura syarat onggha harus terjadi perpindahan ke luar pulau, sehingga jika terjadi perpindahan masih dalam kawasan pulau Madura, maka hal itu belum dapat dikatakan onggha.
Hanya saja pertanyaannya adalah apakah tradisi toron itu merupakan produk budaya atau agama (religion). Menurut asumsi penulis, tradisi toron sebenarnya termotivasi kuat ajaran agama, hanya saja pola pelaksanaannya tidak lepas karena pola budaya. Bukankah ajaran agama tidak secara detail mengatur, bagaimana pemeluknya melakukan praktik peribadatan, terutama ibadah yang ghairu mahdhah. Karenanya di sini kultur lokal mendapat ruang untuk mewarnai bentuk-bentuk peribadatan yang dilakukan komunitasnya, termasuk mengekspresikan tradisi toron yang telah lama dipratikkan oleh etnis Madura. Di sisi lain, bagaimanapun tradisi toron itu sendiri lahir dari sebuah proses interaksi sosial dalam ruang publik dengan berbagai ikatan normatifnya. Berbagai motif tradisi toron di kalangan etnis Madura antara lain bisa dipahami dari identitas mereka sebagai Muslim yang mempunyai karakter, antara lain mereka bercita-cita kuat untuk bisa naik haji, dan bahkan sangat bangga menyandang predikat “haji”. Selain itu mereka sedemikian hormat terhadap kyai (pemuka agama), menjunjung tinggi hari-hari besar keagamaan, mengapresiasi pendidikan agama, dan kebiasaan membangun mushala/langgar (Triyuwono, 2009: v).