Berkaitan dengan motif toron sebagai realisasi perasaan rindu kampung halaman, menurut Syamsul Arifin yang paling pokok adalah pada saat hari raya (tellasan aghung moso ajjih) setelah setahun bekerja di luar Madura. Tellasan bagi etnis Madura mengandung makna sakral karena setidaknya dengan momen ini mereka manfaatkan minta sapora (minta maaf) kepada sanak keluarga, selain juga untuk nyalase (ziarah kubur) kepada leluhur, terutama kedua orang tua.
Motif lain bisa disimpulkan dari pengamatan Rifai bahwa orang Madura toron tidak sebatas karena tellasan, namun juga karena hari-hari besar Islam yang lain, seperti Maulud Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, dan Nuzulul Quran. Kenyataan ini diamini oleh Darwis, Sumberanyar Pamekasan, yang menyatakan bahwa selama ini dalam momen-momen tersebut orang Madura masih bisa menyempatkan diri untuk toron.
Tidak demikian, menurut Sol, pengasuh pesantren Assirojiyyah Sampang, selain motif tersebut masih banyak motif lain, yaitu karena acara kematian (ta’ziyah), pernikahan anggota keluarga, keberangkatan dan kepulangan ibadah haji (ajjiyan). Namun demikian menurut Sol, yang paling pokok menjadi magnit toron-nya etnis Madura, selain tellasan, yakni acara Maulud Nabi SAW, Perkawinan, dan Haji. Salah satu di antara ketiganya menurut pandangan Sol, yang terbiasa menerima undangan dari masyarakat, adalah acara Maulud Nabi.