Latief Wiyata
Antroplog Budaya Madura
Banyak sumber untuk menggali nilai-nilai budaya Madura, di antaranya melalui nyanyian tradisonal yang mungkin sekali pada saat ini sudah mulai tidak diingat kembali dan bahkan tidak mau (dan mampu) menyanyikannya, khususnya oleh generasi muda. Mereka lebih mengenal bahkan hafal menyanyikan lagu-lagu pop, termasuk “K-Pop” yang kini sedang melanda dunia mereka. Kondisi ini memang tidak dapat dihindari atau dielakkan, berkat kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat dan sangat canggih.
Keampuhan teknologi informasi menjadikan “dunia remaja” makin sempit dan tidak tergantung lagi pada persoalan ruang dan waktu sehingga selera mereka mudah ditentukan atau dibentuk oleh selera “dunia sana”. Hal inilah yang kemudian mampu memengauhi selera mereka terhadap nyanyian tradisional memudar. Padahal irama nyanyian tradisonal sangat enak didengar dan penuh dengan suasana keceriaan. Liriknya pun tidak “abal-abal”, melainkan sarat dengan makna-makna filosofis khas budaya Madura. Salah satu nyanyian tradisional itu adalah “Ghai’ Bintang”.
Syair selengkapnya adalah sbb:
Ghâi’ bintang ya lè’ ghâgghâr bulân
Paghâi’na jhanor konèng
Kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu
Pajhâuna è lon-alon
Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer
Terjemahan bebasnya:
Menggapai atau meraih bintang ternyata yang jatuh rembulan
Alat penggapainya janur kuning
Kakak pergi semakin jauh
Jauhnya ke alun-alun
(Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer)
Sampai saat menulis makalah ini, saya masih belum mendapatkan informasi tentang siapa pengarang nyanyian itu. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri nyanyian ini sangat popular di zaman saya masih ana-anak dahulu, sekitar pertengahan tahun 1950-an. Saya yakin pada zaman sebelum saya pun nyanyian ini juga sangat akrab dalam pergaulan sosial orang Madura. Biasanya nyanyian ini dikumandangkan pada saat bermain-main di halaman rumah (Madura: pamengkang) secara bersama-sama dengan ana-anak tetangga. Suasana keceriaan senantiasa mewarnai pergaulan mereka. Meskipun sangat mungkin mereka tidak memahami makna filosofis yang terkandung di dalamnya, namun nyanyian ini mampu memberikan semangat kebersamaan yang mengasyikkan.
Makna-makna simbolik
Sekilas makna simbolik nyanyian Ghai’ Bintang dapat diinterpretasikan sebagai nyayian kasmaran. Makna yang dikandungnya sangat jelas menggambarkan bagaimana seseorang yang sedang dilanda asmara kehilangan kekasihnya oleh karena sudah pergi jauh meninggalkannya. Padahal sebelumnya pasangan kekasih ini sudah berupaya agar bisa bersanding di pelaminan. Kejadian ini pasti merupakan suatu kondisi emosional yang sangat menyakitkan bagi yang bersangkutan. Namun, kondisi emosional ini tetap dihadapi dengan tabah dan tidak harus patah semnagat bahkan justru dihadapi dengan keceriaan (tanpa merasa sedih yang berlebihan).
Selain bermakna suasana hati seseorang yang kehilangan kekasihnya, nyanyian Ghai’ Bintang dapat pula dimaknai dalam konteks budaya Madura yang lebih dalam. Apabila dicermati dengan seksama, bait-bait dalam nyanyian Ghai’ Bintang mengandung berbagai pilihan kata yang membentuk suatu kontkes makna simbolis. Pilihan kata-kata itu adalah: ghai’, bintang, bulan, jhânor konèng, elang, sajân jhâu, dan lon-alon (kemudian diakhiri dengan bait liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Pilihan kata-kata ini sudah barang tentu bukanlah sederetan kata tanpa makna melainkan memiliki makna-makna simbolis yang harus diinterpretasikan sesuai dengan konteks nilai-nilai kultural Madura.
Kata ghâi’ (menggapai atau meraih) bermakna suatu tindakan atau upaya dan kerja keras untuk meraih sesuatu yang dicita-citakan atau diinginkan. Dengan menggunakan kosa kata ini, yang harus diraih itu merupakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya, bukan sekadar keinginan atau cita-cita yang ala kadarnya. Inti dari makna simbolik yang terkandung dalam pilhan kata ghâi’ adalah konsep bekerja keras dengan semangat yang tinggi merupakan salah satu kewajiban cultural orang Madura. Lebih tegasnya, bermalas-malasan tidak dikehendaki apa pun alasannya.
Kata bintang, bermakna atau simbolisasi dari sesuatu yang sangat tinggi dan bersifat agung atau luhur. Dalam konteks ini, kata bintang bisa saja bermakna sebagai suatu cita-cita atau keinginan luhur. Tentu saja, tidaklah mungkin suatu cita-cita atau keinginan luhur hanya diniatkan dan diucapkan, melainkan harus disertai dengan upaya dan kerja keras untuk dapat meraihnya menjadi suatu kenyataan. Itu sebabnya dalam nyanyian Ghai’ Bintang kemudian disebutkan alat untuk meraih bintang itu disebut jhanor koneng, yaitu daun kelapa yang masih muda yang memiliki tekstur warna indah. Daun kelapa ini biasanya hanya digunakan untuk peristiwa-peristiwa ritual yang sakral.
Selanjutnya, meskipun cita-cita luhur tersebut telah diupayakan dengan kerja keras tanpa mengenal lelah, namun harus disadari bahwa tidak tertutup kemungkinan ternyata hasilnya bisa jadi tidak sesuai dengan yang diharapkan (ghâgghâr bulan). Pada bait-bait selanjutnya yaitu: kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è lon-alon dapat semakin mempertegas interpretasi bahwa meskipun cita-cita dan keinginan luhur itu semakin sulit untuk digapai atau diraih, namun kesulitan ini sekali lagi tidak akan membuat orang Madura bersedih.
Sebab, tingkat kesulitan itu akan dimaknai hanya bermuara pada suatu area yang menyenangkan. Kita semua tahu, bahwa tempat yang bernama pada suatu tempat yang disebut alun-alun. Tempat ini merupakan konsentrasi segala kegiatan yang bersifat ritualistic atau “perayaan” sehingga suasana kemeriahan, keramaian, keceriaan, dan kegembiraan akan ditemukan di sana. Bahkan tidak jarang alun-alun juga dijadikan tempat untuk kegiatan-kegiatan olahraga yang maknanya akan membuat orang menjadi makin sehat, bukan sebaliknya (sakit).