Masjid Agung Sumenep: Akar Historis Toleransi Masyarakat Madura

Masjid Agung Sumenep, tampak dari depan

Fajri Andika

Tulisan ini membahas tentang sejarah pembangunan Masjid Agung Sumenep serta simbolisasi seni Islam dalam arsitektur masjid yang dibangun pada abad ke-18 tersebut. Secara metodologis, jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masjid Agung Sumenep dibangun pada masa Panembahan Sumolo (1763 M.). Desain arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh berbagai macam budaya: Cina, Arab-Persia, Jawa, dan Eropa, yang merupakan simbol toleransi dan perdamaian masyarakat ujung timur Pulau Garam.

*****

Sumenep yang secara geografis terletak di ujung timur Pulau Madura merupakan daerah yang memiliki warisan sejarah yang sangat kaya, yang membedakannya dari tiga daerah (kabupaten) lain di Madura (Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan). Beberapa situs sejarah yang biasanya menjadi tujuan utama para wisatawan ialah Asta Tinggi (kompleks pemakaman para raja dan bangsawan-bangsawan Sumenep), makam Joko Tole (Raja

Sumenep ke-13 yang berkuasa dari tahun 1415 sampai 1460 M.), Keraton Sumenep yang saat ini beralih fungsi menjadi museum, serta Masjid Agung Sumenep.

Potensi wisata sejarah yang dimiliki Kabupaten Sumenep tersebut memungkinan untuk dikembangkan secara optimal, khususnya Masjid Agung Sumenep. Masjid yang dulu bernama Masjid Jamik ini merupakan objek wisata religi sejarah andalan yang memiliki banyak peninggalan sejarah baik yang berupa bangunan maupun non-bangunan, yang menarik bagi para wisatawan dan mengandung nilai filosofis karena berdekatan dengan keraton dan alun-alun (sekarang berubah menjadi Taman Adipura Sumenep) (Shadily, 1990).

Masjid Agung Sumenep merupakan bangunan peninggalan Keraton Sumenep, simbol toleransi antar umat beragama, dan jejak perkembangan dan kejayaan Islam di Sumenep maupun di lingkungan keraton (Amiuza, tt). Seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, masuknya agama Islam ke Madura, salah satunya ditandai dengan terdapatnya masjid. Masjid merupakan karya seni dan budaya yang tercipta pada bidang arsitektur sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sama halnya dengan Masjid Agung Sumenep yang merupakan suatu produk karya seni dengan mengkomposisikan kebudayaan dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam bangunan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Segala.

Tempat atau bangunan bersejarah seperti Masjid Agung Sumenep ini menjadi trend bagi para wisatawan karena dinilai apabila beribadah di dalam bangunan kuno dan bersejarah lebih mempunyai nilai kekhusukan ibadah yang lebih tinggi dibandingkan dengan masjid yang masih baru dibangun. Hal ini juga tidak lepas dari kepercayaan sebagian masyarakat Madura (Sumenep) yang masih mengeramatkan dan memegang teguh kepercayaan nenek moyang mereka (Selviana & Sumarno, 2013). 

Namun demikian, sebagian wisatawan tidak mengetahui perihal sejarah pembangunan Masjid Agung Sumenep yang merupakan simbol toleransi antar umat beragama di Sumenep dan di lingkungan keraton. Mereka datang ke bangunan tersebut hanya untuk beribadah (salat) dan berswafoto tanpa mencari tahu atau menggali lebih dalam ihwal sejarah serta makna simbol-simbol yang terdapat pada arsitektur masjid yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi itu. Inilah yang menarik bagi peneliti. Karena itu, tulisan ini akan mengkaji perihal sejarah pembangunan Masjid Agung Sumenep yang merupakan simbol toleransi masyarakat Sumenep dan di lingkungan keraton. Selain itu, tulisan ini juga akan membahas ihwal simbolisasi seni Islam dalam arsitektur masjid yang dibangun pada pertengahan abad ke-18 tersebut.

*****

Secara metodologis, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan (membaca buku, jurnal, majalah, surat kabar, dokumendokumen, serta media informasi lain yang ada hubungannya dengan yang diteliti). Selain itu peneliti juga melakukan observasi, yaitu mengamati objek yang diteliti dengan tujuan untuk mendeskripsikan gambaran riil di lapangan tentang kondisi atau keadaan Masjid Agung Sumenep berikut benda-benda bersejarah yang terdapat di area dan di dalam masjid tersebut, seperti prasasti Pangeran Natakusuma I, serta pedang perak Arab pemberian Pemerintah Irak yang menyilang di atas dinding, tepatnya di atas tempat imam masjid. Peneliti juga melakukan interview dan wawancara dengan para informan, yakni pengurus Masjid Agung, pejabat setempat, masyarakat sekitar masjid, dan juga para wisatawan. 

Sejarah Pembangunan Masjid Agung Sumenep

Masjid Agung atau dulu yang dikenal dengan Masjid Jamik Sumenep terletak di kelurahan Bangselok, Kecamatan Kota Sumenep. Bangunan masjid menghadap ke timur, lurus dengan keraton (sekarang museum), di mana di tengah-tengah kedua bangunan ini terdapat alun-alun Kota Sumenep yang pada saat ini berubah menjadi Taman Adipura, sehingga jika dilihat dan diperhatikan dari atas, jalan antara masjid dan keraton membentuk lafaz Allah.

Dengan gambaran bahwa huruf alif pertama berada di sebelah utara yang kini menjadi jalan pasar 17 Agustus, huruf lam pertama berada di alunalun sebelah utara, huruf lam kedua berada di alun-alun sebelah selatan, dan huruf ha’ merupakan keberadaan kantor Kodim Sumenep. Simbolisasi ini memiliki makna bahwa dalam relasi manusia dengan alam dituntut untuk selalu ingat kepada Allah Swt.

Di masa silam, Kota Sumenep merupakan ibu kota kerajaan (keraton) atau tempat kedudukan seorang adipati. Dengan demikian, masjid biasanya didirikan dekat bangunan istana. Adapun makna yang terkandung dalam perencanaan tata Kota Sumenep, jika alun-alun merupakan tempat bertemunya raja dengan rakyat, maka masjid adalah tempat bersatunya raja dengan rakyat sebagai sesama makhluk Ilahi. Di sini mereka bersama-sama melakukan kewajiban mereka melaksanakan salat berjamaah di bawah pimpinan seorang imam. Dengan demikian, menurut Soekmono (1973), dalam hal tata letaknya sebuah masjid, berlangsung unsur yang lama, yaitu alun-alun merupakan tempat raja bertemu dengan rakyatnya.

Secara historis, Masjid Agung Sumenep dibangun pada masa Pemerintahan (Panembahan) Sumolo yang memiliki gelar Tumenggung Aria Asiruddin Natakusuma (1763 M.). Dia memerintah Sumenep dari tahun 1762 sampai 1811 M. dan merupakan putra angkat Raden Ayu Tumenggung Tirtonegoro yang menikah dengan ayah kandungnya, Bendoro Saod. Bindara Saod alias Raden Tumenggung Tirtonegoro merupakan seorang auliya’ yang dikenal sakti mandraguna, termasuk putra-putra keturunannya.

Bindara Saod dengan istrinya yang pertama, Nyi Ezza (keturunan Pangeran Katandur), memiliki dua orang putra, yaitu Aria Pacenan dan Aria Asiruddin (Werdisastra, 1996). Pada saat sowan ke Ratu Tirtonegoro, ibu tirinya itu berwasiat di mana wasiatnya tersebut dicatat oleh Sekretaris Kerajaan, bahwa kelak di kemudian hari jika ayah dari kedua anak tersebut wafat, maka yang diperkenankan menjadi raja adalah anak yang lebih muda, yaitu Aria Asiruddin (Mukarram, 2001).

Di bawah kepemimpinan Aria Asiruddin atau Pangeran Natakusuma I,

Sumenep menjadi negeri yang aman dan makmur. Bahkan, pasukan Sumenep berhasil membantu VOC Belanda mengalahkan Blambangan. Dan atas jasanya tersebut, Sang Sultan diberi hadiah berupa tanah panarukan oleh VOC. Tumenggung inilah yang membuat katumenggungan yang baru di daerah Pajagalan berdekatan dengan rumah orang tuanya (Keraton Lama) (Sumalyo, 2006). Katumanggunan (keraton) ini dilengkapi dengan alun-alun yang di sebelah baratnya kemudian dibangun Masjid Agung Sumenep. 

Masjid Agung Sumenep yang merupakan bagian dari kompleks keraton ini dibangun sebagai kelengkapan dalam melaksanakan ibadah salat dan kegiatan keagamaan lainnya. Berikut petikan yang terdapat dalam Babad Soengenep ihwal pembangunan masjid tersebut:

E dalemmanna taon djaba 1712, taon Arab 1200, Pangeran Natakusuma adjennengngagi Masegit, e penggir barakna lon-alon, semare e dalemmanna taon djaba 1718, taon Arab 1206. Masegit djareja molae dari lamba’ kongse sateja terros enjamae masegit anjar. (Di dalam tahun Jawa 1712, tahun Arab 1200, Pangeran Notokusumo mendirikan masjid di pinggir barat alun-alun, yang selesai dalam tahun Jawa 1718 tahun Arab 1206. Masjid ini mulai sejak dulu sampai sekarang diberi nama Masjid Baru) (Werdisastra, 1996).  

Selain itu, pembangunan Masjid Agung Sumenep juga dapat dilihat dalam sebuah prasasti yang terdapat di area masjid, yang merupakan wasiat Pangeran Natakusuma, yang bunyinya sebagai berikut:

“Yang membangun masjid ini adalah Pangeran Natakusuma di Negara Sumenep. Masjid ini selesai pada bulan Ramadhan tahun Zi dan dijadikan wakaf di jalan Allah (sabilillah) di dalam memulai pekerjaan, kebajikan untuk shalat yang bertujuan taat kepada Allah. Ini tahun tarikhnya waktu selesai masjid tahun 1206 H Nabi Saw.”     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.