Masyithah Mardhatillah
(Aktivis Madura Migrant Care dan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dibandingkan hal-hal lain, kekerasan atau praktik carok barangkali merupakan hal yang paling sering diidentikkan dengan masyarakat Madura. Ini merupakan suatu keniscayaan bukan hanya karena praktik semacam carok tidak dapat dengan mudah ditemui di wilayah-wilayah lain, akan tetapi karena carok sendiri memiliki berbagai kekhasan yang membuatnya berbeda, semisal bentuknya yang beragam dan evolutif namun khas, ikon celurit serta motif-motif yang melatarbelakanginya.
Saking identiknya Madura dengan carok dan nilai-nilai kekerasan, hal-hal lain tentang Madura menjadi tidak banyak diketahui atau kurang diminati, termasuk tentang perempuan Madura yang ditengarai tidak jarang menjadi sebab terjadinya praktik carok. Persoalan tahta, harta (utamanya tanah dan ternak) dan wanita hingga hari ini masih dipercaya sebagai sebab paling umum yang mengawali terjadinya carok. Terlepas dari benar tidaknya anggapan tersebut, perempuan dalam masyarakat Madura sebenarnya merupakan antitesis dari nilai kekerasan carok sebab ia merupakan simbol keindahan, kelembutan sekaligus ketangguhan dalam menjalankan peran sebagai seorang perempuan, istri, ibu, nenek hingga peran-peran dan atau berbagai profesi lain.
Perempuan juga merupakan bagian penting dalam struktur masyarakat Madura karena menjadi simbol prestise dan kehormatan sebuah keluarga. Tak heran jika kemudian ia begitu banyak dilekatkan dengan berbagai kearifan lokal masyarakat setempat yang tumbuh berakar dari generasi ke generasi. Seperti halnya kearifan- kearifan lokal lain, kearifan lokal pada Masyarakat Madura sedikitnya memiliki fungsi dan atau ciri sebagai penanda identitas sebuah komunitas, perekat kohesi sosial, unsur budaya yang tumbuh secara natural serta pengarah pola pikir dan tingkah laku.
Pada masyarakat Madura, kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat utamanya begitu kuat mengarahkan pola pikir dan tingkah laku sehingga eksistensinya tetap bertahan kendati masyarakat bukan tak mengenal berbagai pola pikir hingga gaya hidup yang terbilang baru.
Keadaan yang demikian menempatkan perempuan Madura pada posisi yang dalam sebagian hal tampak cukup dilematis. Di satu sisi mereka diharapkan untuk bisa menjaga bahkan mengangkat martabat keluarga dan atau masyarakat secara luas, akan tetapi di sisi lain kebebasan dan ruang ekspresi mereka justru diarahkan sedemikian rupa, khususnya agar mengikuti arus utama dalam menjalankan dan melestarikan berbagai tradisi dan norma yang telah lama dianut masyarakat. Dalam beberapa hal, perempuan Madura tampak ingin diseragamkan dalam pola-pola proses maupun hasil yang diakui dan diterima masyarakat.
Karena itu, dominasi keluarga dan atau tokoh masyarakat menjadi cukup besar dalam menentukan pilihan-pilihan yang berdampak besar bagi kehidupan mereka mulai dari persoalan pendidikan, pekerjaan hingga perjodohan dengan anggapan bahwa perempuan Madura sebaiknya dikawal dalam membuat keputusan-keputusan penting agar tidak salah memilih jalan. Dengan skenario semacam itu, perempuan Madura seakan-akan tidak memiliki kekuasaan penuh untuk menciptakan dan menentukan alur hidup dan masa depan mereka sendiri.
Hal yang demikian utamanya begitu tampak dalam tradisi perjodohan di mana perempuan Madura umumnya ‘diharuskan’ menerima, menjalani sekaligus melestarikan berbagai tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Mereka tidak sepenuhnya bebas memilih kapan dan dengan siapa mereka menikah serta cenderung menunggu lamaran dari pihak laki-laki atau inisiatif orang tua perihal perjodohan dengan calon yang bukan tak mungkin belum dikenal dan atau taksesuai dengan kriteria yang didambakan.
Namun demikian, uniknya, kearifan-kearifan lokal yang bermain di balik perjodohan Madura semacam itu kadangkala menempatkan perempuan Madura justru pada posisi terhormat, mulya serta menguntungkan dalam hal fisik maupun non-fisik. Lagi-lagi, ini kembali berkait erat dengan posisi perempuan Madura yang menjadi simbol prestise baik bagi sebuah keluarga atau individu secara pribadi—yakni suami atau calon suami—sehingga perempuan akan diperlakukan dan dijaga sebaik mungkin.
Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi berbagai kearifan lokal masyarakat Madura dalam hubungannya dengan status perempuan Madura sebagai simbol prestise serta posisinya sebagai pelaku tradisi perjodohan dengan berbagai serba- serbi di dalamnya. Netralitas dan keberimbangan data serta analisis dalam tulisan ini diupayakan dapat menyajikan persoalan seapa adanya serta sekritis mungkin.
Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise (dalam Pernikahan)
Kekhawatiran seorang gadis akan menjadi perawan tua dan ta’ paju lake (tidak ada lelaki yang melamar atau mau menikahi) bisa dibilang merupakan faktor utama tingginya angka pernikahan dini bagi perempuan Madura. Ini utamanya dirasakan orangtua dan keluarga, sehingga keputusan-keputusan berkait dengan sang gadis, mulai dari persoalan pendidikan hingga perjodohan dipengaruhi oleh pola pikir yang demikian.
Apalagi, sebagian masyarakat Madura masih memercayai bahwa lamaran pertama terhadap si gadis akan menjadi pamali jika ditolak. Tak heran, perjodohan dan atau pertunangan perempuan Madura tidak hanya dimulai ketika sang gadis memasuki usia remaja, akan tetapi sejak masa kanak-kanak bahkan ketika masih dalam kandungan, meski secara umum perjodohan biasanya diselenggarakan setelah si gadis mengalami datang bulan (haid) pertama.
Kendati pernikahan dilaksanakan belakangan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai dirasakan sebagian besar masyarakat, anggapan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan membuatnya justru dijauhi para lelaki— yang kurang percaya diri untuk melamar—tetap membuat para orang tua buru-buru menikahkan anak gadisnya. Setelah menikah, orang tua pada umumnya akan merasa sebagian besar tugasnya telah selesai betapapun pada saat yang sama ia masih memiliki beberapa anak laki-laki lajang.
Minimal, orangtua akan merasa tenang jika anak gadisnya telah bertunangan. Tradisi pertunangan dalam masyarakat Madura sedikit berbeda dengan masyaraka Jawa yang umumnya mengenal istilah lamaran untuk menggambarkan prosesi khitbah dan terjadi beberapa bulan sebelum pernikahan. Dengan jarak waktu yang begitu dekat tersebut, sangat kecil kemungkinan rencana pernikahan mengalami kegagalan.
Namun demikian dalam masyarakat Madura, pertunangan yang terjadi umumnya bukan untuk menandai telah dekatnya waktu pernikahan, akan tetapi lebih pada menandai ikatan antara seorang gadis dan lelaki. Hubungannya dengan prestise, lembaga pertunangan kemudian pernikahan dalam masyarakat Madura tidak hanya akan menyelamatkan dan menentukan prestise keluarga, akan tetapi juga prestise seorang lelaki sebagai tunangan ataupun suami, khususnya jika si (calon) istri juga merupakan masyarakat Madura.
Konsep prestise sebagai seorang lelaki inilah yang diduga melatarbelakangi terjadinya beberapa kasus kekerasan di Madura sebab hingga hari ini, masyarakat Madura secara umum masih harga diri laki-laki atau suami. Beberapa bulan lalu, misalnya, warga Madura digemparkan dengan penyerangan terhadap seorang sopir angkutan umum di keramaian kota hingga korban bersimbah darah tanpa ada seorangpun yang segera berinisiatif menolong.
Berita menyebutkan bahwa persoalan perempuan menjadi sebab dalam kasus tersebut sebab si korban ditengarai menggoda (dan atau berhubungan dekat dengan) istri pelaku yang tengah ditinggal berlayar selama beberapa bulan. Konflik Sunni-Syi’ah di Sampang juga ditengarai bermotif perebutan seorang perempuan yang kemudian bercampur dengan konflik agama. Jika anggapan adanya motif perempuan di balik dua kasus tersebut benar adanya, ini lebih dari cukup menunjukkan bahwa perempuan Madura masih benar-benar menjadi simbol dari prestise laki-laki yang akan dijaga dan dipertahankan sedemikian rupa dengan berbagai cara.
Selain itu, jika benar dmikian, keduanya juga menandakan bahwa peribahasa yang begitu terkenal di kalangan masyarakat Madura, yakni lebbih begus pote tolang ebending pote mata yang kurang lebih berarti lebih baik putih tulang (meninggal dunia) dibanding putih mata (tidak bisa melihat atau kehormatannya terlepas) masih tetap hidup dalam masyarakat. Nilai yang demikian berlaku tidak hanya pada pasangan yang telah atau masih hidup bersama, akan tetapi juga pada pasangan yang telah memutuskan untuk bercerai atau masih bertunangan.
Untuk mendekati dan atau menikahi seorang janda, seorang lelaki harus meminta idzin dulu dari bekas suami janda yang bersangkutan agar tidak dianggap menodai hak dan prestise-nya sebagai seorang lelaki Madura, kendatipun tersebut memandang setiap bentuk gangguan terhadap tunangan atau istri sebagai pelecehan terhadap sudah berakhir. Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan yang telah bertunangan di mana ia harus benar-benar menjaga diri utamanya dalam pergaulan dengan lawan jenis. Herannya, dua hal ini bisa dibilang tidak berlaku bagi laki-laki yang berstatus duda atau tunangan orang.
Memegang posisi sebagai simbol prestise bagi keluarga maupun laki-laki yang demikian, perempuan Madura secara cultural dituntut untuk mematuhi berbagai aturan kesopanan hingga keutamaan mulai dari dari cara berpakaian, bertingkah laku, berbicara hingga bergaul dengan lawan jenis atau orang yang lebih tua. Dari situ, banyak orang tua yang mengirim putrinya untuk bersekolah di pesantren dengan harapan dapat memimba ilmu dan mengarahkan perilaku. Dalam sebagian hal, pilihan yang demikian cukup sukses membatasi ruang gerak perempuan Madura sehingga mereka memiliki kesempatan yang relatif lebih kecil untuk tampil di muka publik dalam event-event kesenian, penyaluran bakat dan minat atau pergelaran budaya lain utamnya yang seforum dengan para lelaki.
Hal di atas barangkali terkesan merugikan perempuan Madura dalam beberapa hal, akan tetapi menjadi simbol prestise sebenarnya juga menempatkan perempuan Madura pada posisi strategis. Ini misalnya tampak dari pendidikan seks sejak dini yang konon telah diajarkan pada perempuan Madura diiringi dengan perlindungan dan penjagaan yang ketat terhadap pergaulan mereka. Dengan setting yang demikian, ketika beranjak remaja, perempuan Madura dikenal memiliki pesona yang khas sebagai perempuan yang ‘terjaga’ dan ‘suci’ sedang sebagai seorang istri, mereka dikenal begitu ‘perkasa’ dalam hal seksualitas termasuk memastikan kesetiaan pasangan.
Hal tersebut tentu merupakan nilai plus tersendiri yang tak banyak ditemukan dari perempuan dengan kultur yang berbeda. Selain itu, menjadi simbol prestise kadangkala membebaskan perempuan Madura dari tugas breadwinning atau mencari nafkah sehingga mereka memiliki kesempatan lebih untuk mengembangkan diri, melakukan hobi, memaksimalkan potensi maupun mengoptimalkan peran yang dimiliki sebab urusan breadwinning hampir sepenuhnya ditangani suami.
Ini misalnya tampak dari kisah perempuan Madura yang belajar membatik ketika suami mereka tengah berlayar ataupun membantu menyiapkan peralatan dan distribusi hasil tangkapan ikan menjelang kepulangan suami. Selain menyalurkan hobbi dan mengembangkan diri, hal yang demikian tentu juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi keluarga. Mengenai peran perempuan dalam tugas breadwinning, lelaki Madura umumnya akan merasa lebih bangga jika sang bebas tangan dari urusan mencari nafkah, meski sebagian lain ada yang justru senang jika dibantu sang istri.
Menjadi simbol prestise kadangkala juga memfasilitasi perempuan Madura untuk tampil secantik dan semenarik mungkin sebab baik keluarga maupun tunangan (atau suami) akan merasa malu jika anak, tunangan atau istri mereka berpenampilan terlalu sederhana atau tidak sama dengan orang kebanyakan. Karenanya, untuk momen-momen tertentu, mereka kerap disilakan berbelanja keperluan kecantikan mulai dari baju, aksesoris, kosmetik hingga perhiasan emas.
Ini pulalah yang melahirkan anggapan bahwa perempuan Madura adalah toko emas berjalan sebab banyaknya perhiasan emas yang dipakai ketika mereka bepergian atau menghadiri sebuah acara. Meski pemandangan demikian tidak ditemukan di semua kalangan, pandangan bahwa penampilan seorang perempuan mencerminkan kesejahteraan ekonomi suami atau orangtua tetap hidup dalam masyarakat Madura. Dari situ, bentuk pengukuhan prestise tersebut bisa bermacam-macam dan berbeda bentuk sesuai selera dan kapasitas keluarga maupun suami, semisal fasilitas kendaraan, pendidikan, rumah, tempat usaha dan lain sebagainya.
Tentu saja, fasilitas yang demikian setara dengan tantangan dan ‘beban’ yang dipikul seorang perempuan sebagai simbol prestise. Ia diharuskan dapat menjaga kepercayaan dan nama baik keluarga maupun suaminya sebaik mungkin dengan cara menjaga perilaku, perkataan maupun sikap ketika bertemu dan berinteraksi dengan orang lain.
Ini utamanya berlaku ketika si perempuan tengah menjalani masa studi atau kerja dan tidak bersama dengan keluarga ataupun pada saat iat telah menikah dan ditinggal sang suami berlayar atau merantau yang merupakan dua pekerjaan yang cukup dominan pada masyarakat Madura. Lain dari itu, perempuan Madura yang telah berstatus sebagai istri umumnya diharuskan mengabdi pada suaminya sebaik mungkin kendatipun aplikasi dari kearifan lokal ini bisa bermacam-macam di setiap keluarga.