“Bhapa’, Bhabhu’ Ghuru, Rato: Meneroka Azimat Madura

Ilustrasi: Seorang nenek (Madura) dan cucunya (foto: Mohammad Badri Zamzam)

Oleh: Suhartatik*

Ungkapan “Bhapa’, Bhabhu’ Ghuru, Rato ini merupakan hal yang tidak asing di telinga orang Madura.  “Bhapa’, Bhabhu’ Ghuru, Rato, yang menyebut empat figur yang memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan orang Madura yaitu Bapak, Ibu, Guru, dan Ratu (Pemimpin).

Mereka merupakan azimat yang selalu diamanatkan kepada putra-putri Madura untuk menjadi pegangan hidup. Artinya dalam kehidupan mereka harus selalu patuh dan taat pada perintah keempat sosok itu. Tak dapat dipungkiri, setiap perjalanan hidup seseorang tidak akan pernah lepas dari peran Bapak, Ibu, Guru, dan Pemimpin.

Merekalah yang selalu memberikan arahan dan bimbingan sehingga mampu mempengaruhi perkembangan seseorang, baik individu maupun kelompok. Orang tua, guru, dan pemimpin memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk individu dan kelompok, serta dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan dan kesuksesan.

Ungkapan ini kemudian menjadi falsafah orang Madura yang dikenal dengan ketundukannya pada aturan agama Islam beserta budaya yang mereka yakini. Namun, penyebutan “Bhapa’, Bhabhu’, Ghuru, Rato ini mengalami perbedaan pandangan dengan seorang tokoh besar berdarah Madura, yaitu Bapak Prof. Mien Rifai.

Bermula dari sebuah diskusi dan bimbingan awal terkait peneltian saya tentang batik Madura, kemudian merambah pada ungkapan Madura di atas yang saya pakai dalam kata pembuka di buku referensi hasil luaran matakuliah. Ada dua hal yang menjadikan saya berbeda pendapat dengan Bapak Prof Mien yang memang selalu bergelut dengan budaya Madura. Namun, saya mencoba memberanikan diri menyampaikan pandangan dan pemikiran saya kepada beliau karena memang selalu diberikan kesempatan untuk terbuka dalam diskusi.

Pertama, Bapak Prof. Mien Rifa’i tidak setuju ketika saya memakai kata Bhâpâ’ yang dianggap amat janggal karena tidak pernah ditemukan beliau pada penulis lain yang menggunakannya. Bahkan beliau sempat memaparkan beberapa referensi dan kosakata sinonim seperti bapa’, eppa’, bhuppa’, dan rama.

Namun saya memiliki pandangan berbeda dari beliau karena penyebutan kata Bhâpa’ ini merupakan subdialek yang banyak dipakai di sekitar lingkungan desa kami dan memiliki konotasi positif, sedangkan kata bhuppa’, kadang pemakaian/ fungsi konotasinya negatif karena mengarah pada kata sindiran atau bahkan pèsoan (makian), seperti, bâ’na rèya jhât paḍâ bân bhuppa’na (kamu memang sama dengan bapakmu).

Kalimat ini sering muncul ketika seorang ibu memarahi putranya atau bahkan orang lain/ famili yang menyamakan watak/perilaku anak sama dengan bapaknya. Makian dengan menggunakan bhuppa’, juga sering dipakai ketika seseorang yang merasa diperlakukan tidak baik sehingga melampiaskan amarah melalui penyebutan itu yang ditujukan kepada anak (baik anak sendiri maupun anak dari lawan) seperti, “ongghu ta’ ḍhâpor bhuppa’na bâ’na” (sungguh kurang ajar bapakmu).

Kedua, hal yang berbeda dengan Prof. Mien terkait penempatan kata Bhâpa’ yang lebih dulu saya sebut daripada Bhabhu’ (ibu). Prof. Mien bercerita bahwa tahun 1991 beliau diundang ke Leiden Belanda untuk membahas beberapa aspek perkembangan sosial dan budaya Madura. Ketika itu beliau baru menerbitkan buku  biografi mertua beliau, Bapak Mohammad Noer dan draf kasar Lintasan Sejarah Madura yang baru dirampungkan.

Banyak peserta asing yang heran mengapa beliau yang notabene seorang biologiwan justru lebih tertarik pada sejarah dan budaya. Jawaban beliau tidak memuasksn mereka, tetapi perincian detail dan ketajaman pendapat beliau dalam diskusi-diskusi mencengangkan mereka. Orang Madura sangat menjiwai keislaman mereka, terutama dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentang ketundukan pada ibu, dan ibu, serta ibu lagi, dan baru bapak.

Kenyataan ramai berdiskusi itu lalu mengilhami Prof. Mien untuk ”mengubah dan merevisi” falsafah tangga kuasa Madura yang luas dianut penduduknya. Bagi Prof. Mien ungkapan Bhâpa’. Bhâbhu’, Ghuru, Rato dirasakan sangat menyalahi jiwa ajaran sang nabi untuk mendahulukan ibu, lalu ibu, dan sekali lagi ibu, sampai akhirnya baru bapak.

Saya sangat berterimakasih dengan sanggahan Bapak Prof. Mien yang menjadikan saya berani untuk menuangkan pikiran sendiri terkait falsafah Madura tersebut. Saya menyampaikan bahwa awalnya saya juga setuju agar ‘ibu’ lebih didahulukan dalam penempatan falsafah tersebut menjadi, “Bhabhu’, Bhapa’, Ghuru, Rato”.

Namun, kmudian ketika melihat dan memahami kembali arti ‘bapak’ sebagai kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban penuh dalam mengayomi keluarga, bahkan kalau boleh saya katakan ucapan dan perilaku bapak adalah cermin bagi istri dan anak-anaknya, sebagai contoh dan figur utama, maka saya kmbali memakai falsafah “Bhapa’”, yang ditempatkan di awal sebagai penghormatan sekaligus penanda bahwa posisi  “bapak” tetaplah yang utama sebagai suri teladan dan bertanggung jawab bagi keluarganya di akhirat kelak.

Bahkan kita mengetahui bahwa silsilah dari bapak dianggap sebagai ” tarétan teppa’ “atau “saudara kandung” meskipin berbeda ibu, tetapi anak dari ibu yang berbeda bapak hanya dianggap sebagai “tarétan dhâng aso” atau saudara sesusuan. Ini menandakan bahwa posisi bapak dalam silsilah keluarga lebih kuat sebagai acuan hubungan garis darah keturunan.

Saya memohon maaf kepada beliau, bukan berarti kemudian saya mengenyampingkan peran ibu, tidak. Karena bagi saya ibu tetaplah segala-galanya, di telapak kakinya surga kita berada yang wajib kita junjung tinggi melebihi seorang bapak. Hanya saja saya mencoba menegaskan dengan menempatkan ‘bapak’ sebagai pemeran/figur utama dalam keluarga pada falsafah Madura tersebut.

Bahkan kita mengetahui adanya ungkapan “katèmbhâng poté mata ango’an poté tolang” (daripada putih mata lebih baik putih tulang) artinya lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu, ujung-ujungnya kemudian mengarah pada “carok”, hal ini sebagai bukti ‘lelaki/bapak’ akan melindungi “ghâbângan” atau keluarganya (para perempuan) meski nyawa sebagai taruhan.

Setiap orang berhak memiliki interpretasi terhadap apapun yang menjadi keyakinannya. Madura merupakan salah satu suku bangsa yang masih memegang teguh budaya leluhur, sehingga “noro’ oca’ rèng towâ kona”, akan tetap dijaga dan dilaksanakan. Apapun yang menjadi perbedaan pandangan terhadap ungkapan di atas, bagi saya tidak akan mengurangi makna dan fungsi dari falsafah tangga kuasa Madura. Ungkapan Bhâpa’. Bhâbhu’, Ghuru, Rato akan tetap menjadi azimat yang keramat untuk pegangan hidup selamanya.

(tulisan ini merupakan hasil diskusi “chattingan”/ berkirim pesan via WhatsApp penulis dengan Bapak Prof. Mien Rifa’i pada tanggal 2 s.d. 3 Juni 2023)

*Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep dan Pegiat Rumah Literasi Sumenep.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.