Tradisi Toron: Konstruksi Agama, Budaya atau Sosial

Tradisi Toron: Pemetaan Motif

Jika dilihat dari segi motif, tradisi toron bagi etnis Madura mengandung makna tersendiri. Toron hanya berlaku bagi mereka yang melakukan migrasi keluar Pulau Madura yang dikenal dengan istilah onggha. Dengan demikian bagi etnis Madura yang tidak melakukan onggha tidak berlaku istilah toron karena tidak ke mana-mana untuk merantau ke negeri orang. Ini berarti istilah toron yang secara harfiah berarti “turun”, baru ada setelah ada, atau berhadapan dengan peristiwa onggha yang secara harfiah berarti “naik”.

Dikatakan “onggha/naik”, menurut Humaidi, salah seorang kyai Sampang yang biasa berdakwah di Surabaya, karena dengan onggha etnis Madura bisa naik taraf perekonomiannya jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Karena itu menurut Muhaimin, pengasuh pesantren Darut Tauhid Injelan Sampang, bagi mereka yang sudah bertekad melakukan onggha, bagaimanapun harus sukses di rantau orang. Inilah nampaknya yang memicu semangat etnis Madura bekerja keras, ulet, dan pantang menyerah dalam bekerja apapun dengan prinsip asal menghasilkan. Sehingga benar pendapat Afif Hasan, akademisi asal Sumenep, yang menyatakan bahwa orang Madura di rantau tidak mencari pekerjaan, namun mengejar hasil.

Karena keberhasilan itu sendiri merupakan sebuah taruhan harga diri, apalagi sudah merantau jauh dari kampung halaman. Perasaan seperti ini yang dirasakan oleh Imam, penjual sate di kota Malang yang sebelumnya pernah bermigrasi ke Jakarta. Kadhung jhau pak lamon ta’ hasel todus (terlanjur merantau jauh pak, kalau tidak suskes ya malu juga). Demikian Imam mengekspresikan parasaannya sebagai perantau bersama keluarganya. Ekspresi perasaan Imam ini, nampaknya merupakan representasi dari perasaan etnis Madura pada umumnya, terutama yang bermigrasi ke luar pulau Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.