Etos Bisnis: Sebuah Pertaruhan Harga Diri
Membincang masalah kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan masyarakat Muslim, tidak jarang muncul kesan minor yakni, terbelakang, kurang maju. Stigma ini adalah wajar, karena sementara ini kondisi sebagian besar negara-negara Muslim belum maju secara ekonomi (Djakfar, 2009: 31).
Sebagaimana nampak di wilayah-wilayah kawasan Afrika maupun Asia, akan menunjukkan betapa lemahnya penguasaan ekonomi masyarakat Islam (Effendy, 2001: 195). Penyebabnya adalah karena menurut tesis Max Weber, Islam dianggap tidak mempuyai afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme, tidak seperti ajaran Protestan, khususnya dari sekte Calvinis puritan. Karena itu, kendati menganut sistem “monoteistis universalistis,” namun Islam masih dianggap sebagai agama kelas prajurit, mempunyai kecenderungan pada kepentingan feodal, berorientasi pada prestise sosial, bersifat sultanistis, bersifat patrimonial birokratif, serta tidak mempunyai prasyarat rohaniah bagi pertumbuhan kapitalisme (Abdullah, 1979: 19-20).
Tesis Weber itu dianggap lemah sehingga melahirkan banyak resistensi (antitesis) berdasarkan bukti-bukti empirik. Antara lain, Clifford Geertz, dengan studi antropologisnya pada masyarakat santri Mojokuto (Pare, Jawa Timur) yang mempunyai kegairahan ekonomi dan semangat kerja yang sangat kuat (Effendy, 2001: 203). Selain itu, Robert N. Bellah yang menggambarkan bagaimana etos kerja penganut ajaran Tokugawa dan Budhisme Zen di Jepang.
Pakar lain, Robert W. Hefner, memberikan persaksian dengan mengemukakan bagaimana ide-ide besar Muhammadiyah dalam turut serta memajukan perekonomian di Indonesia. Ia mengatakan, “dilihat dari kenyataan, sama sekali tidak kebetulan jika para intelektual Muhammadiyah adalah satu-satunya konstituen non pemerintah yang paling berpengaruh dalam pembentukan BMI di kemudian hari” (Hefner, 1998: 261). Pandangan mereka ini merupakan sebuah persaksian bahwa ajaran teologis selain Protestan pun ternyata juga mengajarkan etos kerja kepada umatnya, tidak sebagaimana yang dituduhkan Weber dengan tesisnya yang kurang mendasar,