Lebih jauh, nampaknya tesis Weber itu pun sejatinya tidak berlaku bagi etnis Madura yang mayoritas sebagai Muslim. “Orang Madura tidak takut kehilangan tanah atau hartanya, akan tetapi mereka takut kehilangan pekerjaannya,” (Kuntowijoyo, 2002: 592). Pernyataan ini ditafsirkan oleh Rifai, “oreng Madhura ta’ tako’ mate, tape tako’ kalaparan.” Maksudnya, orang Madura tidak takut mati karena hal itu sudah merupakan takdir Tuhan yang tidak mungkin dihindari. Tetapi mereka takut lapar karena kelaparan tidak lain disebabkan oleh ulah dirinya yang tidak rajin dan kerja keras dalam bekerja (Rifai, 2007: 347).
Karena itu salah satu karakter etnis Madura yang sangat terkenal adalah mereka pekerja keras, rajin, sungguh-sungguh, dan mau bekerja keras. Bahkan menurut Soeroso, dengan banyaknya pondok pesantren dan kepatuhan terhadap kyai, nampaknya juga berpengaruh terhadap jiwa wiraswasta etnis Madura karena pendidikan pondok pesantren secara nyata mampu mendidik insan yang mandiri (Soeroso, 1996: 4). Saat ini di Madura, terdapat 1157 pondok pesantren, dengan rincian, Bangkalan 236, Sampang 278, Pamekasan 404, dan Sumenep 239 (Data Kanwil Kemenag Jatim, 2012).
Bagi etnis Madura kerja keras adalah simbol harga diri atau pertaruhan diri di tengah keluarga dan masyarakat luas, sehingga apabila ada yang malas berarti tidak mempunyai harga diri dan sangat aib bagi mereka. Karena itu dalam bekerja mereka tidak memilih jenis pekerjaan apa pun, karena yang dikejar adalah hasilnya sebagai penyambung hidup.