Loteng, Rumah Bertingkat yang Hanya Dihuni Putra Sultan Sumenep

Bangunan Loteng Pangeran Kornel Pasarsore, Kelurahan Karangduak, Kecamatan Kota Sumenep. (MAMIRA.id)

Secara leksikal, Loteng merupakan bagian dari rumah bertingkat, lantai atas, atau langit-langit dari rumah berlantai dua.

Di Sumenep, Madura Timur, bangunan Loteng identik dengan rumah berlantai dua peninggalan kuna. Biasanya bangunan ini dimiliki oleh kalangan bangsawan utama di abad 19. Umumnya dimiliki oleh para putra raja. Namun faktanya, tidak setiap putra raja memiliki bangunan Loteng.

“Di Sumenep hanya para pangeran di antara beberapa putra Sultan Sumenep saja yang memiliki bangunan Loteng,” kata RB Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di kalangan keturunan bangsawan Sumenep.

Sultan Sumenep, yaitu Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (memerintah 1811-1854) tercatat memiliki 33 anak. Sekitar 9 putranya bergelar pangeran. Biasanya yang bergelar pangeran ini lahir dari istri-istri utama. Seperti Pangeran Natanegara (lalu berubah menjadi Panembahan Natakusuma II), Pangeran Letnan Kolonel Kusumo Sinerangingrana, Pangeran Kolonel Kusumo Sena Ningalaga, Pangeran Suryoamijoyo, Pangeran Suryoadiputro, Pangeran Letnan Kolonel Meriam Kusumoningayudo, dan lainnya.

Kendati begitu, hanya empat orang pangeran saja yang dikenal memiliki bangunan Loteng sebagai tempat tinggal. Mereka adalah Pangeran Kolonel Kusumo Sena Ningalaga atau biasa disebut Pangeran Kornel di Loteng Pasarsore, Karangduak. Lalu Pangeran Letnan Kolonel Kusumo Sinerangingrana atau yang masyhur dikenal dengan nama Pangeran Le’nan di Loteng Kepanjin dekat Masegit Laju (Masjid Lama).

Dua lainnya ialah Pangeran Suryoamijoyo (Pangeran Ami) di Loteng Kepanjin Barat atau kampung Bujanggan, dan Pangeran Suryoadiputro (Pangeran Adi) di Loteng Kepanjin Timur.

Baik Karangduak maupun Kepanjin saat ini menjadi dua di antara empat kelurahan di kawasan Kecamatan Kota Sumenep.

“Sementara para pangeran selain keempat pangeran tersebut tidak dikenal memiliki peninggalan loteng di Sumenep. Ada pangeran yang menetap di luar Sumenep hingga wafatnya, seperti Pangeran Kusumoningayudo di Bentungan, Situbondo. Juga para putra yang tidak bergelar pangeran, seperti Raden Ario Prawirokusumo, Raden Ario Joyowinoto, dan lainnya, yang kediamannya tidak memiliki loteng,” kata RB Ja’far Shadiq, pemerhati sejarah lainnya dari keluarga bangsawan keraton.

Meski keempat pangeran di atas dikenal memiliki bangunan loteng sebagai tempat tinggalnya, tidak semua loteng masih berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga besar atau anak cucunya. Bahkan, ada salah satu loteng yang sudah tinggal bekasnya saja.

Meski maknanya hanya sebatas bangunan bertingkat, namun keempat Loteng di Sumenep yang disebut dalam tulisan edisi sebelumnya itu, begitu sakral.Hal tersebut tentu saja tidak bisa lepas dari sosok pemilik, yaitu para pangeran utama yang dikenal linuih, waskita, berilmu, dan sekaligus berkharisma tinggi, di antara para putra Sultan Sumenep lainnya.

Keempat loteng yang dimaksud ialah Loteng Pangeran Kornel (Pasarsore, Karangduak), Loteng Pangeran Le’nan, Loteng Pangeran Ami, dan Loteng Pangeran Adi. Tiga loteng yang disebut terakhir berlokasi di Kepanjin. Baik Kepanjin maupun Karangduak saat ini berstatus Kelurahan di Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Madura.

Dari riwayat-riwayat yang berkembang di kalangan generasi keluarga keraton belakangan ini, bangunan-bangunan Loteng para pangeran itu memang diceritakan menyimpan aura mistis yang kuat. Sehingga dalam perkembangannya memang tidak ada yang berani mengubah bentuk, kecuali di masa kini ada upaya pelestarian berupa perbaikan sebagian material yang memang sudah jelas rusak parah.

“Itupun tentu dengan melalui musyawarah keluarga terlebih dahulu dan melibatkan kalangan sesepuh,” kata RB Ja’far Shadiq, salah satu anggota keluarga di Kampung Loteng Pangeran Le’nan Sumenep.

Dewasa ini, selain Loteng Pangeran Ami (Suryoamijoyo) di Bujanggan Kepanjin, bangunan Loteng para pangeran itu masih berdiri tegak dan utuh.

“Hanya Loteng Pangeran Ami yang saat ini memang sudah tinggal bekasnya,” kata RB Fajar, salah satu keturunan Pangeran Ami di Kelurahan Kepanjin.

Jika dilihat bentuk atau modelnya, bangunan-bangunan Loteng para pangeran itu memang sangat istimewa. Megah, tinggi dan luas. Lengkap dengan ornamen-ornamen yang menyimpan simbol-simbol sarat makna filosofis.

Di bangunan itu sang pangeran dan keluarganya tinggal. Di area Loteng tersebut juga umumnya terdapat ruang khusus seperti paseban. Istilahnya mandhapa, atau pendapa. Fungsinya saat pangeran menerima para abdina atau tamu luar. Biasanya juga terdapat langgar atau musala kuna.

Seperti bangunan-bangunan kuna pada umumnya di abad 18, kediaman para pangeran itu menghadap ke arah selatan. Ada pintu masuk juga, atau semacam gerbang gapura. Namun, dewasa ini hanya gerbang Loteng Pangeran Le’nan yang masih ada sisanya dan masih bisa disaksikan langsung.

Dari segi tata letak, bangunan-bangunan Loteng para pangeran itu lokasinya selalu berada di belakang bangunan keraton. Atau berada di sebelah utara bangunan keraton di Kelurahan Pajagalan.

“Kalau tata letaknya memang tidak jauh beda dengan kampung para pangeran di Jogjakarta, yang juga berada di belakang kawasan bangunan keraton,” kata RB Hairil Anwar, salah satu pemerhati sejarah di Kabupaten Sumenep.

“Secara etika memang di depan bangunan keraton tidak boleh ada bangunan tempat tinggal para bangsawan. Sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengagungan pada penguasa dan leluhur,” sambung Ja’far, narasumber di atas.

Jika raja atau “rato” di Sumenep pada abad 19 memiliki Keraton, maka para pangeran memiliki Loteng.

Fungsi Keraton dan Loteng hampir sama. Bedanya soal status sang tuan. Keraton bermakna kediaman ratu atau ‘rato’ dalam bahasa Madura. Loteng merupakan “keraton” kecil, karena pemiliknya adalah anak-anak rato, yang dalam hal ini bergelar pangeran.

Sederhananya, perbedaan keduanya hanya masalah skala. Secara de facto, para putra raja atau rato adalah penguasa-penguasa kecil. Kuasanya merupakan miniatur keraton tanpa de jure.

“Bahkan kalau melihat bangunan keraton sebelum yang dibangun Panembahan Sumolo pada akhir abad 18, malah lebih sederhana dan lebih kecil dibanding Loteng para pangeran yang masih bisa disaksikan saat ini,” kata RB Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Kabupaten Sumenep.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.