Madura yang secara geografis terletak dilepas pantai timur Laut Jawa pada 70 Lintang Utara dan 1120 -1140 Bujur Timur, mempunyai panjang kurang lebih 190 kilometer dengan luas seluruhnya kurang lebih 5.505 km2 dengan ban yak pulau kecil disekitamya. Secara geologis Pulau Madura merupakan bagian dari unsur daratan di utara Pulau Jawa. Daerah ini merupakan kelanjutan dari alur pegunungan kapur yang terletak di bagian utara dan selatan Lembah Solo. Bagian terbesar dari Pulau Madura terdiri atas perbukitan cadas dengan punggung -punggung kapur yang lebar.
Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya mempunyai nilai ekonomi yang kecil bagi Belanda / VQC. Pada masa itu banyak orang yang melakukan migrasi besar -besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik. Madura merupakan sumber prajurit kolonial dan menjadi harapan bagi Belanda, hal ini tercermin pada awal abad XVII hingga pertengahan abad XVIII. Namun setelah abad XIX, Madura mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar sebagai pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda diseluruh Nusantara, dimana garam merupakan monopoli yang menguntungkan bagi Pemerintah Kolonial ( Ricklefs: 202).
Dalam perjalanan sejarahnya, Madura mempunyai keterlibatan yang panjang dengan Belanda. Hal ini bukannya terjadi karena kepentingan langsung Belanda di Madura, tetapi lebih dikarenakan keterlibatan orang -orang Madura di Jawa Timur mulai abad XVII dan seterusnya. Keinginan menjadi daerah dengan kekuasan luas dan lepas dari kekuasaan raja -raja Mataram di Jawa memotivasi penguasa di Madura untuk tidak mudah tunduk pada Raja Mataram.
Madura yang mulanya dikuasai oleh raja -raja lokal ditaklukkan oleh Raja Mataram, Sultan Agung pada tahun 1624. Akibat taklukan itu, pemerintahan di Pulau Madura dipersatukan dibawah satu orang yang berasal dari garis kepangeranan Madura. Ibu kota Madura saat itu adalah Sampang, Para Pangeran ini setelah tahun 1678 menggunakan nama Cakraningrat yang kelak memainkan peranan politik penting di Jawa Timur hingga pertengahan awal abad XVIII ( Ricklefs: 66 -67 ).
Sebagai daerah yang menjadi taklukan kerajaan Mataram, sudah pasti tidak ada kebebasan dalam pemerintahan atau pengaturan daerahnya. Untuk itu kerap timbul penentangan-penentangan dari pangeran-pangeran di Madura terhadap Raja Mataram. Penentangan pertama kali dilakukan oleh Raden Trunojoyo pada masa pemerintahan Amangkurat I. Ketidaksukaan Trunojoyo kepada Amangkurat I karena telah membunuh ayahnya ( Ricklefs: III ) .
Trunojoyo ingin mendapatkan kekuasaan kembali atas Madura. Untuk itu ia menghimpun kekuatan dan merebut kekuasaan atas Pamekasan di Madura Tengah bagian selatan. Pamekasan kemudian dijadikan pangkalan pemberontakan. Dari pangkalan ini dia bisa menguasai seluruh Madura selama tahun 1671. Trunojoyo ingin memperluas wilayah kekuasaannya disepanjang pesisir Jawa. Akhirnya dengan bersekutu dengan orang – orang dari Makasar, pada tahun 1675 terjadi pemberontakan. Pasukan Trunojoyo memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Dukungan kepadanya semakin kuat terbukti dengan banyaknya kemenangan -kemenangan yang diperoleh.
VOC ( Vereenigde Oost -lndische Compagnie) tidak tinggal diam dengan segala peristiwa yang terjadi di pesisir Pulau Jawa. VOC yang menginginkan adanya stabilitas di daerah pesisir utara guna kelancaran jalur pelayaran dan perdagangan, berusaha mengambil tindakan terhadap peristiwa di pesisir Jawa tersebut.
Akhirya pada buian Februari 1677 Amangkurat I dan VOC melakukan pembaharuan perjanjian yang telah dibuat tahun 1646. Perjanjian itu dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat itu. Berdasarkan perjanjian itu VOC akan membantu Amangkurat I melawan musuh- musuhnya. Namun konsekwensinya raja barns membayar semua biaya yang dikeluarkan dan memberi konsesi- konsesi ekonomi kepada VOC, seperti pembebasan dari cukai.
VOC kemudian campur tangan di daerah pesisir dan berhasil memukul mundur Trunojoyo dari Surabaya. Namun pukulan ini justru menambah tinggi suhu pernberontakan, hingga pada tahun 1677 istana kerajaan di Plered di serang dan berhasil dikuasai pasukan Trunojoyo. Sebelumnya Amangkurat I sempat melarikan diri bersama putra mahkotanya, hingga meninggal dan dimakarnkan di Tegal Wangi ( Selatan Tegal ) di pesisir utara. Beliau kemudian digantikan oleh putra mahkotanya, Arnangkurat II.
Dengan persekutuannya dengan VOC, Amangkurat II bersama pasukannya berhasil menangkap Trunojoyo pada akhir 1679. Pada Januari 1680 Amangkurat II secara pribadi menikam Trunojoyo sampai mati ( Ricklefs: 116).
Perjuangan Trunojoyo kemudian dilanjutkan oleh Panembahan Cakraningrat I (1680 -1707). Penguasa Madura Barat ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Belanda dan juga ingin memperluas wilayah kekuasaannya atas wilayah pesisir Jawa. Demikian juga yang terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Cakraningrat III. Usaha melepaskan diri dari kerajaan Matararn dan ketidaksetiaan untuk tunduk dan menghadap ke istana semakin kuat. Bahkan pada masa Cakraningrat IV semakin kuat keinginan untuk berada di bawah VOC dari pada menjadi vassal Amangkurat IV.
Namun ketika Amangkurat IV wafat dan digantikan oleh putranya, Pakubuwono II (1726 -1749), hubungan Cakraningrat IV telah pulih kembali ; bahkan Cakraningrat IV dikawinkan dengan saudara perempuan raja. Sejak itu telah tercapai pengertian diantara Cakraningrat IV dengan Ratu Amangkurat.
Pemulihan hubungan itu tidak menyurutkan keinginan bebas dari raja yang menghendaki dijadikan vassal VOC. Gayung bersambut ketika terjadi konflik antara VOC dengan Pakubuwono II. Cakraningrat IV bersedia membantu VOC apabila disetujui lepas dari Kaftasura dan diperbolehkan secara leluasa bergerak di Jawa Timur. VOC yang ingin mencari keuntungan dari setiap konflik yang terjadi, ternyata kemudian memutuskan tetap menjalin persekutuan dengan raja Mataram asal mau bekerja sarna. Menghadapi situasi seperti itu, maka untuk menghindari putusnya hubungan dengan VOC, Cakraningrat IV kemudian mengembalikan istana kerajaan kepada Pakubuwono II. Sebagai ucapan terima kasih kemudian Pakubuwono II memberikan VOC kedaulatan penuh atas Madura Barat (Ricklefs: 142) .
VOC yang mulai khawatir terhadap ambisi sekutunya tidak mau mengakui tuntutan Cakraningrat IV atas kekuasaan yang besar di sebagian wilayah Jawa Timur. VOC berpikiran bahwa ketenangan Pesisir Utara tidak akan terwujud jika terdapat kekuasaan Madura di Jawa Timur.
Akhimya pada bulan Juli 1744 VOC berusaha melakukan perundingan dengan Cakraningrat, tetapi berjalan sia-sia. Bulan Februari 1745 VOC menyatakan bahwa Cakraningrat IV diturunkan dari tahta dan akan diperlakukan sebagai pemberontak. Akibatnya terjadi peperangan dengan VOC. Kekuatan pasukan Cakraningrat IV kemudian melemah hingga akhimya ia melarikan diri ke Banjarmasin. Namun kemudian ia berhasil ditangkap dan diserahkan’kepada VOC yang membawanya ke Batavia kemudian dibuang ke Tanjung Harapan tahun 1746. Ia digantikan oleh putranya yang.menjadi raja vassal VOC di Madura Barat (Ricklef: 144)
Hingga keruntuhannya, Madura tetap berada dibawah kekuasaan VOC. Sampai perubahan kekuasaan pemerintahan ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, diterapkan aturan untuk memerintah Madura, yaitu dengan memberi kekuasaan diantara penguasa Bangkalan, Parnekasan dan Sumenep. pada tahun 1817 seluruh pulau ini menjadi satu keresidenan, dan pada tahun 1828 pulau ini dijadikan .bagian dari Karesidenan Surabaya. Selanjutnya Jawa dan Madura bersarna-sarna dianggap sebagai satu kesatuan administrasi oleh Belanda.
Sebelum peralihan kekuasaan dari Inggris pada tahun 1816, para penguasa Madura tetap diberikan kekuasaan dalarn masalah dalarn negeri. Sesudah itu Belanda lebih intens dalarn pemerintahan Madura. Gelar maupun hak istirnewa para penguasa Madura dikurangi. Pada tahun 1887 para penguasa Bangkalan, Parnekasan dan Sumenep diturunkan ke status yang sarna dengan para Bupati di Jawa; mereka hanya merupakan pimpinan kabupaten yang berdarah bangsawan di bawah kekuasaan 1angsung Belanda (Ricklef: 202 ).
pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini sejumlah peraturan diterapkan dalarn mengatur sistem birokrasi pemerintahan dari semula yang bersifat tradisional menjadi modem. Diantaranya dengan dikeluarkannya Regerings Reglement yang berusaha mengatur birokrasi pemerintahan daerah secara rasional yaitu, menyusun suatu hirarki pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah dengan azas dekonsentrasi.
Wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi wilayah-wilayah administratif: Gewesten, afdelingen, onderafdelingen, district dan onderdistrict.. ( Suwarno : 33 ).
Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan otonomi yang diatur dalam Bestuurshervormingswet tahun 1922 (Undang-Undang Pembaharuan Pemerintahan ). Berdasarkan aturan ini di Jawa dan Madura dibentuk (1) Provincie-ordonantie; (2) Regentscahps ordonantie ; (3) Staatsgemeente-ordonantie. Berdasarkan ordonansi tersebut di Jawa dibentuk tiga Propinsi, 70 Kabupaten, dan 17- Staadsgemeenten ( tahun 1928 ) (Suwarno : 34 ).