Kisah Asal Mula Sumur Tanto

Oleh Abd. Warits

sumur tanto
Ilustrasi: Tamar Saraseh

Tanah Madura yang gersang sangat sedikit menyediakan mata air. Pada zaman dahulu di lekuk lembah dan lereng bukit banyak digali sumur hingga kedalaman belasan meter untuk mendapatkan air, tetapi dari sumur-sumur itu hanya sedikit yang memancarkan mata air. Beberapa sumur yang lain sebatas menganga tanpa ada pancaran apa-apa bahkan sumur yang memancarkan mata air pun sering kekeringan ketika memasuki musim kemarau.

Di sebuah kampung kecil di daerah Maddupote—wilayah antara Batang-Batang dan Batuputih—hiduplah sepasang suami-isteri bernama Sunima dan Mattali yang hidup harmonis walaupun tak dikarunai keturunan hingga di masa tua. Meski usia perkawinan mereka sudah dua puluh lima tahun namun tak ada momongan yang mereka dapatkan untuk menghibur dan melengkapi keseharian mereka. Sunima kerap berdoa dan melakukan ritual puasa memohon kepada Pencipta untuk dikaruniai anak. Mattali juga demikian bahkan ia tak segan mendatangi beberapa dukun untuk minta cara agar cepat punya anak. Beberapa petuah dan nasihat dukun ia tunaikan mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat seperti ketika ia harus tidur di Bukit Rongkorong selama empat puluh malam, tetapi hasilnya tetap sia-sia.

Sudah banyak harta kekayaan Mattali dan Sunima yang terkuras untuk pergi ke dukun dan sebagian harta yang lain dijadikan biaya melakukan prosesi ritual agar mendapat keturunan. Selain itu terkurasnya harta mereka karena dibuat membayar denda kepada seorang raja yang kejam dan keras kepala. Raja itu tersohor dengan sebutan Raja Dulkemmek Banakeron yang berkuasa di Maddupote. Kerajaan Maddupote sebenarnya kerajaan pemberontak yang secara pemerintahan tidak sah karena masih ada dalam wilayah kekuasaan Panembahan Joharsari1. Ketentuan yang berlaku kala itu setiap keluarga yang tidak mempunyai keturunan didenda setiap bulan 400 sen. Menurut penjelasan raja, denda itu digunakan untuk membayar para kuli yang bekerja mengambil air dari lembah, bukit dan sunga-sungai yang masih ada airnya. Kuli-kuli itu setiap hari bekerja untuk memenuhi kebutuhan air di lingkungan kerajaan.

Para orang tua yang mempunyai anak tidak usah membayar denda, mereka cukup mengirim anak-anaknya ke kerajaan untuk selanjutnya ditugaskan mengambil air. Raja yang kejam itu semakin tak tahu belas kasih ketika kekeringan melanda. Ia tak segan-segan menyuruh anak-anak di bawah umur bekerja mengambil air seharian. Jika ada yang ketahuan istirahat atau merasa lelah, maka sang raja menyuruh prajurit mencambuk dan menghukumnya. Akibat perbuatan raja itu seluruh rakyat merasa tertekan, yang tak punya keturunan harus membayar denda, yang punya keturunan harus rela melihat anak-anak mereka memikul sepasang timba berisi air di bawah terik matahari, mereka harus berlapang melihat anak-anaknya kerap mendapat siksaan di hadapan pengawasan prajurit kerajaan yang ketat. Selain itu, semua rakyat harus hidup dalam kekeringan karena hampir semua air diangkut ke kerajaan.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.