Orang Madura dan Kehormatan Anak Gadisnya

Masalah-masalah sosial terkadang ditampilkan dalam legenda Madura, ini bisa saja terjadi karena legenda adalah refleksi dari realita. Meskipun di dalamnya terjadi distorsi yang disebabkan oleh adanya pelibatan gaya bahasa yang bersifat metaforik dan hiperbolik, namun masalah-masalah yang ditampilkan dalam legenda terlihat nyata karena dalam kenyataan, masalah-masalah o jamak di tempat

Salah satu masalah yang diangkat dalam bab ini adalah masalah sosial yang berhubungan hak perempuan dari keluarga Madura. Di Madura, anak perempuan sejak dari kecil sudah mendapat nilai lebih dibandingkan laki-laki. Anak perempuan Madura diharapkan untuk tetap tinggal bersama di lingkungan keluarga mereka ini semua dilakukan untuk memastikan agar hidup mereka terjaga. Berbeda dengan anak laki-lakinya yang memang sejak kecil di akselerasi dan dianjurkan untuk mencari pengalaman sebanyak banyaknya di luar untuk dapat hidup sebagai laki-laki sejati serta kuat menghadapi tantangan anak perempuannya terkadang telah disiapkan segala sesuatunya sejak mereka masih kecil

Para orang tua Madura seringkali merasa khawatir anak perempuan mereka dikemudian hari tidak mampu menghidupi hilopaya sendiri, maka dengan meletakkan mereka tetap di dalam rumah, kelemahan-kelemahan ini akan tertutupi karena didukung oleh anggota keluarga yang lain. Terkadang, dalam beberapa kelompok Masyarakat di Madura, proteksi masa depan ini menjadi begitu terlihat dengan adanya sistem waris yang berbeda dengan sistem waris kebanyakan. Di Pasongsongan, Sumenep, ditemukan fakta bahwa umumnya, anak perempuan akan memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah dan tanah pekarangan, diberikan kepada anak perempuan dan tidak boleh dijual kepada siapa pun. Dalam pembagian warisan ini, jarang sekali terjadi anak laki-laki diberi bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak karena perempuan Madura, kelak akan menjadi tempat pamoleyanna (pulangnya) saudara laki-lakinya jika terjadi perceraian atau kasus yang lainnya.

Dari usia remaja, anak perempuan Madura banyak sekali pantangannya. Mereka tidak boleh makan sambil berjalan, tidak boleh nongkrong di pinggir jalan, tidak boleh diam di pintu, dan masih banyak lagi larangan yang lainnya. Pantangan ini semua diberikan kepada anak perempuan Madura supaya sikap mereka dapat terbentuk sejak muda. Agar kelak, setelah dewasa, mereka mampu menjaga sikap, menjaga diri dan marwah keluarga.

Selain itu, anak perempuan adalah mahkota kehormatan keluarga Jika anak gadis berbuat hal-hal memalukan, keluarga akan tercoreng nama baiknya. Misalnya, ketahuan berbuat mesum atau hamil di luar nikah. Maka keluarga ibarat menjadi penampungan kotoran.

Dari kumpulan legenda yang ada di masyarakat, terdapat dua legenda yang memiliki hubungan dengan kehormatan keluarga dan reaksi masyarakat terhadap gangguan akan kehormatan keluarga. Kedua legenda ini sama-sama menceritakan tentang kehamilan tanpa nikah dan reaksi keluarga pada masalah tersebut. Dua legenda ini adalah legenda Mortéka dari Madhura: Cerita Rakyat Gunung Geger dan Asal Muasal Kata Madura serta Pemuda Jokotole dan Asal Usul Desa Socah, Banyuacellep, Tellang dan Jambuh.

Kehamilan Bendoro Gung

Cerita tentang kehamilan anak gadis tanpa nikah yang pertama dapat dilihat pada kisah Bendoro Gung. Dikisahkan bahwa Sang Hyang Tunggal, seorang raja yang menguasai daerah di kaki gunung Semeru memiliki seorang perempuan baik, cantik serta bercahaya. Putri dikenal sebagai Putri Tanjung Sekar Tumenggung. Banyak dan pangeran negeri tetangga datang untuk melamar Bendoro Gung. Sayangnya, Bendoro Gung menolak semua lamaran tersebut dengan halus dengan tidak merasa dan belum mendapat petunjuk dari Maha Kuasa.

Suatu ketika, Bendoro Gung sedang bermain-main di taman istana. Ketika sedang bermain, ia merasa sangat mengantuk dan tertidur di sana. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat Mortéka (Bintang Timur) yang begitu megah di angkasa Putri merasa aneh dengan Mortéka tersebut karena ketika diamati, Mortéka  itu terasa makin mendekat padanya. Secara tak terduka, Mortéka itu masuk ke tubuh Sang Putri melalui mulutnya. Putri pun terbangun dari tidurnya.

Dengan berjalannya waktu, Sang Putri mulai lupa mimpinya, Ia pun melakukan kegemarannya bermain-main di taman istana. Suatu ketika ia merasa sakit dan muntah muntah hebat, lantas jatuh pingsan beberapa saat lamanya.

Abdi istana dengan tergopoh-gopoh membawa Sang Putri ke istana. Dengan cemas Sang Raja bergegas memanggil Tabib Istana. Tabib pun datang dan memeriksa kondisi Putri dengan diagnosa. Setelah beberapa memeriksa Putri, Sang Tabib setengah berbisik memberitahukan kepada Sang Raja bahwa Putri sekarang sedang berbadan dua.

Raja mula-mula tidak percaya yakin, Sang Putri tidak pernah kemana-mana termasuk juga bertemu dengan seorang pria. Meskipun demikian, ia terganggu dengan berita dari Sang Tabib. Ia harus mendapatkan bukti yang jelas bahwa Sang Putri benar-benar berbadan dua.

Beberapa saat kemudian Gung telah segar seperti sedia kali. Seperti biasa melakukan kegiatan rutinnya di istana. Kali ini Bendoro berada pengamatan sang raja. Setiap saat, Raja mengamati gerak-gerik Sang Putri untuk memastikan keraguannya akan kebenaran dari tabib istana

Semakin lama diamati, Sang Raja semakin yakin bahwa Putri berbadan dua. Semakin hari, perut sang Putri makin berisi, hingga sampailah kabar kepadanya bahwa para pembesarnya kerajaan telah curiga akan perubahan fisik dari Sang Putri. Sebelum berita simpang siur menyebar, Sang Raja segera memerintahkan pengawal untuk membawa Bendoro Gung menghadap padanya.

Sang Raja menanyakan kepada Sang Putri tentang kebenaran berita dari tabib bahwa Sang Putri sedang berbadan dua. Tidak menyangka akan ditanya seperti itu, Putri membantah keras tuduhan Sang Raja karena ia merasa masih suci dan belum pernah disemak laki-laki mana pun apalagi melakukan hal-hal yang melanggar norma. Ia pun merasa tidak hamil dan andaikata hamil, la bersikukuh bahwa ia tidak bersalah karena kehamilan itu adalah bukan atas kehendaknya.

Raja kurang berkenan dengan jawaban Sang Putri. Sebagai bentuk kemurkaannya, Sang Raja memilih mendiamkan Sang Putri untuk beberapa saat lamanya. Beberapa waktu kemudian, semakin terlihatlah perut Sang Putri yang makin membesar. Hal itu semakin mengukuhkan dugaan Sang Raja bahwa Putrinya telah hamil di luar nikah dan melanggar pantangan norma.

Sebagai konsekuensi dari kehamilan tanpa nikah ini, sang raja kemudian memutuskan memberikan hukuman yang sangat berat pada putrinya itu. Hukuman terberat bagi pelaku kesalahan yang tak terampuni dan mencoreng nama baik kerajaan. Meskipun sang raja sangat sayang pada putrinya itu, ia memilih mempertahankan harga diri keluarganya daripada menanggung malu selamanya (Kisah selengkapnya dapat dilihat di buku yang ditulis Azhar, Iqbal Nurul (2016) dengan judul Mortéka dari Madhura: Antologi Cerita Rakyat Madura Edisi Kabupaten Bangkalan. Sidoarjo: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Jawa Timur).

Disalin dari buku; Oréng Madhurã, Keyakinan, Prinsip Hidup, dan Potensi Tersembunyinya, Penulis: Iqbal Nurul Ashar, Penerbit: LkiS, Cetakan 1: 2017, halaman 53-56

Tulisan bersambung:

1. Orang Madura dan Kehormatan Anak Gadisnya
2. Kehamilan Potré Konéng
3. Penguatan Karakter Menjunjung Tinggi Harga Diri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.