Untuk diketahui, Bindara Saod, merupakan Raja ke-29 yang memimpin Kerajaan Sumenep Madura , dan tercatat dalam sejarah Sumenep memangku jabatan sejak tahun 1750-1762 Masehi. Menurut catatan sejarah Bindara Saod merupakan keturunan dari Pangeran Katandur, yang juga konon cucu dari Sunan Kudus.
Tidak ditemukan kapan Bindara Saod lahir, namun diperkirakan di awal kurun 1700-an Masehi. Tidak ada petunjuk lisan maupun tulisan yang pasti mengenai hari, tanggal, maupun tahunnya. Meski dalam sebuah catatan di kalangan keturunannya yang ditulis lebih satu abad pasca wafatnya, Bindara Saod disebut lahir pada 1113 Hijriah, bertepatan dengan 1625 Jawa atau 1701 Masehi. Terlepas dari itu, kisah tutur mengatakan peristiwa sebelum kelahirannya yang kemudian dikenal, bahkan melegenda, sekaligus menjadi perbincangan dengan terus diceritakan turun-temurun.
Ada satu riwayat yang cukup mengesankan, yakni pada suatu waktu, Kiai Abdullah alias Entol Bungso di Batuampar Sumenep, memanggil isterinya yang bernama Nyai Nurima atau Narema. Saat itu Nyai Nurima tengah hamil tua.
Terkait: Dibalik Kisah Sang Waliyullah Bindara Saod
Saat dipanggil, Nyai Nurima tengah shalat. Sehingga panggilan sang suami tak bisa dijawabnya. Setelah berkali-kali tak ada sahutan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang menjawab panggilan Entol Bungso, “ibu masih shalat, wahai ayah”.
Sontak, Entol Bungso tertegun. Beliau mencari arah datangnya suara tersebut. Namun yang dijumpainya hanya sang isteri yang baru saja mengucapkan salam sehabis shalat. Lantas Entol Bungso bertanya pada Nyai Nurima.
“Siapa anak yang barusan menjawab panggilanku?”.
“Anak di dalam kandunganku, ini,” jawab Nyai Nurima, pasti.
Peristiwa tersebut yang konon menjadi latar belakang pemberian nama Saod. Karena sudah bisa menyahut sejak dalam kandungan. Sebuah karomah luar biasa, yaitu karunia kemuliaan dari Allah SWT pada seseorang sebelum ia bertaqwa. Lidah Madura lantas menyebutnya Saod. Sehingga putra Entol Bungso dengan Nyai Nairima itu dikenal dengan sebutan Bindara Saod atau Bindara Saod. Bindara adalah paduan kata arab bin (anak) dan bahasa setempat dara (tuan) atau doro dalam pelafalan Jawa.
Dalam sebuah naskah tulisan kuna berhuruf dan sekaligus berbahasa Arab, Bindara Saod ditulis dengan huruf shad, wawu, dan ta’. Dibaca showtun, atau showt, yang maknanya “saut” atau suara. Naskah kuna yang ditulis oleh salah satu anggota keluarga keraton pada kisaran paruh kedua abad 19 itu kini tersimpan di kampung Pangeran Le’nan, kelurahan Kepanjin, Kota Sumenep.
Sebagian ahli sejarah di kalangan keluarga keraton menyandarkan nama Saod pada bahasa Madura yaitu saot. Namun sebagian lain mengatakan bahwa itu dari bahasa Arab, showt. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa, Saod hanyalah gelar atau julukan saja. Dengan kata lain Saod bukan nama daging.
Sejak kecil, konon Bindara Saod sudah banyak menampakkan keistimewaan atau kelebihan dibanding anak-anak sebayanya. Beliau juga dikenal sangat cerdas, dan mampu dengan cepat menangkap pelajaran gurunya.
Di usianya yang masih kecil, Bindara Saod dikirim oleh ayahnya ke Lembung (sekarang nama desa di wilayah Kecamatan Lenteng). Di sana Saod kecil mengaji di pesantren pamannya, yaitu Kiai Fakih atau Kiai Pekke, saudara kandung ibunya.
Suatu malam, di saat semua santri terbuai mimpi, Kiai Pekke yang biasa jaga malam melihat sebuah bintang jatuh dan masuk ke dalam bilik santri. Bintang itu menjelma cahaya dan jatuh tepat pada salah satu santri. Santri itu seperti terbakar dan menyilaukan, sehingga Kiai Pekke tak bisa mengenalinya. Lantas beliau memberi tanda pada kain sarung yang dikenakan santri itu dengan membakar ujungnya sedikit.
Keesokan hari, Kiai Pekke memeriksa para santri. Dan ternyata yang ada tanda di ujung sarungnya ialah Bindara Saod. Lalu Kiai Pekke bersabda, ”Ketahuilah, aku telah mendapat petunjuk bahwa kamu insya Allah akan menjadi Raja Sumenep hingga tujuh turunan.”
Bindara Saod menikah dengan Nyai Izzah, putri Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu. Nyai Galu, Kiai Pekke dan Nyai Nurima (ibu Bindara Saod), bersaudara kandung. Ketiganya adalah putra-putri Kiai Khathib Bangil, di Parongpong, Kecer, Dasuk.
Jadi dengan demikian, antara Bindara Saod dengan Nyai Izzah masih bersaudara sepupu. Pernikahan ini membuahkan dua anak laki-laki, yaitu Baha’uddin dan adiknya, Asiruddin (dalam sebuah catatan ditulis Nashiruddin).
Sepeninggal Kiai Pekke, Bindara Saod menggantikan pamannya morok (mengajar). Salah satu kebiasaan Bindara Saod ialah sering keluar rumah dengan pakaian penyabit rumput, sambil membawa garunju (wadah rumput).
Hingga suatu saat datanglah utusan dari Keraton Sumenep dengan membawa pesan Ratu Rasmana. Saat itu Bindara Saod dengan busana penyabit rumput dan peralatannya dijumpai punggawa Keraton. Setelah menyampaikan maksud berupa undangan dari Ratu, Bindara Saod pun langsung bergegas ikut. Beliau memilih langsung berangkat tanpa mengganti pakaian dengan yang bagus atau pun membuang garunju-nya dalam perjalanan.
Sesampainya di Keraton terjadilah kejadian yang tak lazim dalam sejarah mana pun. Seorang lelaki penyabit rumput dari Desa Lembung dipinang langsung oleh seorang ratu. Setelah Bindara Saod setuju, dilangsungkanlah akad nikah. Akad nikah yang membawa angina perubahan dalam sejarah Keraton Sumenep. Angin perubahan berupa masuknya pengaruh dan aroma pesantren dalam lingkaran feodalisme.
Terkait: Perkawinan Ratu Tirtonegoro dengan Bindara Saod
Selepas itu, dengan menikahnya Bindara Saod dengan Ratu Rasmana dilakukan pemindahan kekuasaan dari isteri ke suami. Bindara Saod ditabalkan sebagai raja (adipati) Sumenep dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro pada tahun 1750 Masehi.
Dengan Ratu Rasmana, Bindara Saod tidak memiliki keturunan. Sehingga dengan permintaan Ratu, kedua putra Bindara Saod di Lembung didatangkan ke Keraton. Sang Ratu berkenan mengeluarkan wasiat resmi agar putra termuda, Asiruddin diangkat sebagai raja sepeninggal ayahnya. Asiruddin naik tahta pada 1762 Masehi dengan gelar Panembahan Notokusumo. Beliau juga lebih dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Somala, karena beliaulah yang mula-mula memakai gelar panembahan. Sebelumnya, penguasa Sumenep hanya bergelar Pangeran atau Tumenggung saja.
Bindara Saod dan Panembahan Sumolo membuka kran sistem dan tradisi baru. Di mana waktu itu di Sumenep geliat religi begitu kental. Pemerintah lebih banyak melibatkan unsur-unsur pesantren dalam tata pemerintahan. Simbol-simbol perangkat Keraton juga lebih kental dengan nuansa Islami. Ghirah memperdalam ilmu agama juga menjadi tradisi putra-putra raja (Lontar Madura dari bagian tulisan Ngoser.ID)