Nilai estetis sering kali dikaitkan dengan nilai keindahan sebuah karya seni. Menurut Sedyawati (dalam Sumitri, 2013, 134), sesungguhnya teori estetika memiliki dua kutub. Di satu kutub, ada penikmat estetik yang terjadi melalui kognisi, pemahaman konsep, serta pengertian- pengertian akan asosiasi. Pada kutub yang lain diutamakan penyerapan langsung oleh pancaindra.
Ritual Pojhiân Hodo yang sifatnya sakral juga memiliki nilai este- tis yang dapat dirasakan oleh pancaindra melalui pengalaman estetis. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sumardjo (2000, 327) bahwa melalui kegiatan upacara ritual dapat tercapai suatu pengalaman khusus, yakni pengalaman estetis. Pengalaman estetis ini dibangun dari unsur-unsur bentuk berdasarkan kepercayaan mereka. Maka dari itu, pengalaman estetis menjadi satu dengan pengalaman religius.
Nilai estetis dalam ritual Pojhiân Hodo dapat dilihat melalui keberagaman seni yang terkandung di dalamnya. Seni yang terdapat dalam ritual Pojhiân Hodo antara lain seni musik, tari, resitasi, dan rupa. Format musik ritual Pojhiân Hodo berupa ensambel musik se- derhana, terdiri dari instrumen musik gong, bonang (hanya dua unit), seruling, kecrek, dan kendang. Musik yang dimainkan ada dua bagian.
Pada bagian pertama, musik yang dimainkan bersifat improvisasi dan hanya dimainkan oleh instrumen seruling sebagai pengiring resitasi. Pada bagian kedua, musik dimainkan secara ensambel untuk meng- iringi tarian. Musik tersebut bersifat repetitif (diulang-ulang). Fungsi estetis musik dalam ritual Pojhiân Hodo adalah untuk menciptakan suasana dan membangun emosi para pelaku.
Seni tari dalam ritual Pojhiân Hodo dilakukan pada inti ritual setelah melakukan doa pembuka dan pembacaan mantra (Gambar 2.7). Pada mulanya, tari hanya dilakukan oleh pelaku ritual, tetapi setelah beberapa saat kemudian, pelaku tari mengajak penonton dan tamu untuk ikut menari. Gerakan tari yang dimainkan sangat sederhana. Gerakan tersebut biasa disebut nandhâng dalam bahasa Madura. Penari melakukan gerakan sambil berjalan mengelilingi sesajen yang ada di tengah-tengah tempat ritual.
Selain seni musik dan tari, juga terdapat seni resitasi dan seni rupa. Seni resitasi yaitu pada pembacaan mantra Tembhâng Pamojhi yang dilagukan. Sedangkan unsur seni rupa dapat dilihat dalam pe- nataan kostum dan sesajen yang dihias untuk kebutuhan ritual. Secara garis besar, nilai estetika yang terdapat dalam ritual Pojhiân Hodo merupakan perayaan atau bisa juga dikatakan sebagai simbolisasi dari kesuburan dan kesejahteraan masyarakat. Seni dalam hal ini dimaknai sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas kesuburan yang telah dikaruniakan ke daerah Pariopo dan digunakan untuk mempertahankan apa yang sudah diterima.
Nilai Historis
Munculnya ritual Pojhiân Hodo tentunya memiliki latar belakang sejarah. Candra, seorang guru di SD Bantal yang memiliki peran pen- ting dalam pelestarian ritual Pojhiân Hodo, menyatakan bahwa ritual ini adalah ritual peninggalan nenek moyang yang sampai sekarang sudah mencapai lima generasi dan masih dilestarikan secara turun temurun sampai anak-cucu. Sebelum ritual ini berkembang seperti sekarang, Candra melakukan penggalian data secara mandiri dengan menghimpun data dari para sesepuh pelaku ritual Pojhiân Hodo.
Ritual Pojhiân Hodo masih dipertahankan sampai sekarang. Menurut kisah yang hidup di masyarakat, pada zaman dahulu, daerah Dukuh Pariopo, Desa Bantal merupakan tapak tilas para pejabat penguasa kerajaan Majapahit, yaitu Raden Damar Wulan yang merupakan suami dari Ratu Kencono Wungu, seorang penguasa perempuan di kerajaan Majapahit kala itu. Raden Damar Wulan di- utus untuk memerangi Kadipaten Blambangan yang melawan kepada pusat kekuasaan Majapahit. Setelah berhasil menaklukkan Kadipaten Blambangan, rombongan Raden Damar Wulan kembali ke Majapahit. Rute perjalanan yang diambil adalah pantai utara.
Dalam beberapa catatan sejarah, Blambangan memang pernah ditaklukkan kerajaan Majapahit (1295–1527). Ibu kota Blambangan saat itu diperkirakan terletak di Panarukan (saat ini bagian dari wila- yah Situbondo), sebab pada waktu itu Panarukan terkenal sebagai kota pelabuhan di ujung timur pulau Jawa (Siswanto, 2012, 250). Lebih lanjut, Sudjana (dalam Siswanto, 2012, 250) berpendapat bahwa apabila dugaan lokasi ibu kota Blambangan pada waktu itu terletak di pantai timur, kemungkinan terdapat dua istana, dan Panarukan mempunyai kedudukan lebih penting karena terletak pada tepi jalur perdagangan yang ramai.
Ringkas cerita, tibalah rombongan Raden Damar Wulan di suatu tempat kering, tandus, dan diapit oleh dua bukit yang kemudian dikenal dengan nama “Dukuh Pariopo”. Di sini, rombongan Raden Damar Wulan merasa haus dan lapar. Kemudian, Raden Damar Wulan membuat batu tomang (tungku) untuk memasak. Setelah tungku dibuat, muncul masalah baru, yaitu kesulitan air. Kesaktian Raden Damar Wulan tidak diragukan lagi. Ia bersemedi di gua yang berlokasi sekitar 200 meter di sebelah utara Batu Tomang. Tujuannya yaitu untuk memohon petunjuk kepada gusti sang penguasa alam.
Pada tengah malam, Raden Damar Wulan mendapatkan petunjuk untuk 1) memotong hewan kurban berupa kambing berwarna hitam di kaki gunung Masali; dan 2) membuat sajian di sekitar Batu Tomang sebagai sarana memohon dan memuji kepada Tuhan agar turun hujan. Berkat ritual tersebut, akhirnya permohonan Raden Damar Wulan dikabulkan. Hujan pun turun dan selamatlah rombongan itu dari kehausan dan bencana kekeringan.
Berdasarkan konteks historisnya, terdapat proses akulturasi dalam ritual Pojhiân Hodo. Bee (dalam Hadi, 2006, 35) memberikan parameter pengertian akulturasi, yaitu 1) akulturasi menunjuk kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi apabila dua sistem budaya bertemu; 2) akulturasi menunjuk kepada suatu proses perubahan yang dibedakan dari proses difusi, inovasi, invensi, maupun penemuan; dan
3) akulturasi dipahami sebagai suatu konsep yang dapat digunakan sebagai kata sifat untuk menunjuk suatu “kondisi”, misalnya kondisi kelompok budaya yang satu lebih terakulturasi dari budaya yang lain. Kontak dan silang budaya antara budaya warisan Majapahit, Islam, dan Madura melahirkan bentuk ritual Pojhiân Hodo yang baru.
Ritual Pojhiân Hodo mengalami beberapa perubahan, terutama setelah masuknya agama Islam. Pada waktu itu, ritual Pojhiân Hodo tidak dilarang oleh para wali dan justru digunakan sebagai media syiar Islam. Akhirnya, ritual Pojhiân Hodo bertransformasi dan sudah ber- napaskan Islam, walau masih tetap ada unsur keaslian yang dipelihara selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Justru karena itulah, ritual Pojhiân Hodo sampai saat ini masih diterima oleh masyarakat, bahkan banyak warga di luar Desa Bantal yang turut hadir.
Selain unsur Islam, budaya Madura juga memengaruhi bentuk ritual Pojhiân Hodo. Unsur Madura dapat dilihat dalam teks mantra yang menggunakan bahasa Madura. Hal ini termasuk mengenai asal-usul nama Hodo yang berasal dari kata Do Hodo dalam bahasa Madura yang berarti di atas langit ada langit. Kemudian kata tersebut disempurnakan menjadi kata ‘Hodo’.
Kisah sejarah terbentuknya ritual Pojhiân Hodo tersebut bagi masyarakat Dukuh Pariopo sampai saat ini masih diyakini dan dijadikan pedoman. Hal ini lah yang menjadi alasan masyarakat tetap melestarikan warisan budaya yang telah dikaruniakan kepada generasinya sampai sekarang. Nilai historis tersebut masih dapat terlihat jelas dalam prosesi ritual Pojhiân Hodo.
Para pelaku ritual masih menjalankan dan melaksanakan ritual sesuai keyakinan ten- tang prosesi ketika Raden Damar Wulan melaksanakannya dahulu, meskipun ada beberapa unsur yang telah berubah. Tempat ritual dan tahapan ritual yang dilakukan oleh Raden Damar Wulan menjadi sangat penting bagi pelaku ritual untuk tetap dipertahankan. Dalam hal ini, peran mitos mampu untuk menginspirasi dan memengaruhi perilaku pelaku untuk melakukan ritual.