Humanis Madura dalam Sastra Lisan

Buku Humanis Madura

Salah seorang sastrawan dari Pamekasan, Muhammad Tauhed Supratman, lagi menerbitkan buku berjudul “Humanis Madura” (Kajian Sosial Sastra Lisan) (2019).  Buku ini merupakan pengembangan dari buku sebelumnya “papareghan; Pantun Madura Puisi Abadi (2016). Jadi dalam buku banyak mengupas kerifan lokal Madura dalam bentuk lisan, khususnya papareghan.Dibawah merupakan pengantar buku “Humanis Madura”;

******************

Etnik Madura mempunyai aneka ragam kekayaan budaya. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa;. konsep budaya dapat diartikan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milk din manusia dengan belajar (dalam  Supratno, 1998: 1, 1999: 1). Sedangkan Speradley dan McCurdy (dalam Supratno, 1998: 1, 1999: 1) ménegaskan bahwa “budaya juga dapat diartikan pengetahuan yang diperoleh manusia dan memakainya untuk menerangkan peñgalaman dan membangkitkan tingkah laku sosial

Salah satu kekayaan budaya etnik Madura adalah Pantun Madüra. Pantun Madura tersebut keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sekarang dapat dikatakan hampir punah dan kurang mendapatkan perhatian dan generasi rnudanyä.

Pantun merupakan salah satu jenis puisi ash Indonesia. Hampir di semua daerah di Indonesia dapat kita jumpai tradisi berpantun. Pantun sangat cocok untük suasana tertentu, seperti halnya juga karya seni lain hanya tepat untuk suasana tertentu pula.

Dalam upacara perkawinan banyak digunakan pantun untuk sambutan; sehingga timbul suasana keakraban dan terjalin komunikasi. Gadis dan jejaka yang berkenalan, bercinta, atau menyatakan kasihnya juga sering menggunakan pantun karena ungkapan secara langsung dipandang kurang tepat. Ungkapan langsung dalam pantun diberi antara oleh sampiran sehingga penerima ungkapan (orang yang dimaksud) itu tidak . merasa terkejut. Tanggapan orang yang diajak bicara pun jika bersifat kasar juga. tidak begitu menyakitkan hati karena tanggapan itu diperantai oleh sampiran.

Pantun di daerah Melayu disebut dengan nama “pantun”, di daerah Batak Mandailing disebut “Ende-ende”, sedangkan di Pulau Jawa disebut “parikan”. Demikian pula dengan daerah lain di nusantara mi. Di Madura, pantun kadang kala disebut “paparegan”. Ada pula yang menyebutnya “kejung”, karena ekejungangi, atau dikidungkan (Imron, 2005: 6). Tetapi secara umum orang atau masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah “pan tun”. Pantun Madura tersebut dalam satu baitnya terdiri empat bans, bans pertama dan kedua disebut sampiran, sedangkan bans ketiga dan keempat dinamakan isi.

Rima dalam pantun Madura sangat mendapatkan perhatian untuk menjaga keindahan bagi pendengaran, karena pantun Madura mi merupakan sastra Ilsan atau folkior. Dalam pantun Madura, bans kesatu dan kedua yang kita kenal dengan nama sampiran itu kadang-kadang tidak mengandung arti apa-apa, kadang kala mempunyai anti. Tetapi aspek bunyi yang terdapat dalam sampiran itu seakan-akan ada hubungan estetis dengan bans ketiga dan keempat yang kita kenal dengan nama isi pantun tersebut. Antarbaris pertama dengan bans ketiga, dan bans kedua dengan bans keempat, terjalin benang halus yang dipadukan oleh persamaan bunyi (lmron, 2005: 6).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.