Humanis Madura dalam Sastra Lisan

Buku Humanis Madura

Perkembangan kebudayaan di tanah air umumnya, khususnya di Madura, menunjukkan adanya gejala perubahan, yakni masuknya budaya dan perpindahan penduduk .yang semakin mudah mengakibatkan arus budaya yang semakin kuat mendesak kebudayaan daerah lain.  Indarini (dalãm Gazali; 2001: 9) menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan sikap masyarakat di dalam menghadapi intervensi budaya luar, (1) tetap mempertahankan jati diri dan tetap mempertahankan norma- norma tradisional, (2) cenderung mengikuti atau hanyut sama sekali ke dalam arus budaya luar, atau (3) cenderung menggunakan filter penyaring budaya luar, sehingga budaya tradisional tetap dipertahankan dan tetap mengikuti zaman secara selektif. Perubahan itulah yang perlu dicermati melalui penelitian, misalnya penelitian sastra lisan.

Dalam studi sastra lisan, seni sastra dalam bahasa Madura digolongkan ke dalam studi foklor. Studi semacam mi menarik dilakukan karena foklor merupakan bagian budaya tradisional yang sangat merakyat. Mengkaji foklor dapat kita temukan ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap dunia mereka, nilai-nilai, sikap asumsi, perasaan, dan keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat.

Khasanah kebudayaan.tersebut dapat ditemukan di masyarakat dalam bentuk lisan atau perbuatan, misalnya seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, maka sang laki-. laki akan menggunakan pantun untuk mengungkapkan isi hatinya contoh: /Ka Sorbaja lem-malemma/pokol settong ka Semarang//Pokokna padha ngen-angenna /mayettongnga ka dika sorang//. (Terjemahan; Ke Surabaya di kala sore/Jam satu ke Semarang//Asalkan sama kehendaknya/akan setia padamu seorang//–penj (Supratmán, 2016: 40).

Khasanah tersebut bisa saja dimiliki oleh masyarakat lain, sehingga masyarakat yang bersangkutan tetap mampu berinteraksi dan dipengaruhi oleh khazanah budaya yang dimiliki oleh masyarakat dengàn kebiasaan yang berbeda (Branvand, dalam Gazali, 2001: 9).

Foklor dalam bahasa Madura dapat dipandang sebagai. tradisi lisan sebab seni budaya tersebut tergolong ke dalam tradisi turun-temurun. Branvand (dalam Gazali; 2O01: 10) mengatakan bahwa: “yang tergolong kedalam tradisi lisan adalah bahasa rakyat, prosa rakyat yang berupa mite, legenda, dan dongeng, serta nyanyian rakyat (pañtun-pen) dan permainan anak-anak”. Pengertian lisan sangatlah longgar. Dikatakan demikian karena di dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan segala sesuatu disampaikan melalui bahasa lisan termasuk di dalam karya sastra. Akibatnya, cipta büdaya yang dihasilkan oleh suatu masyarakát berbentuk sastra lisan disampaikan secara lisan pula. Oleh karena itu sifat yang demikian tradisi lisan bisa berbeda bentuk dan isinya dan suatu tempat ke tempat lain, dan generasi ke generasi yang lain (Gazali, 2001: 10)..

Imron (dalam Huub de Jonge, 1985: 180) menjelaskan bahwa . walaupun Madura sudah lama mengenal dunia tubs menulis, tetapi sampai sekarang belum ditemukan hasil karya sastra yang benar-benar tua, sästra lama kebanyakan berupa sastra lian yang cukup diingat dalam kepala, kemudian dialihkan dan mulut ke mulut yang tidak mustahil dalam mengarungi perjalanan waktu bisa mengalami perubahan yang disebabkan berbagai hal. Sehingga sebuah pantun di sebuah desa pada saat mi terdapat dalam pantun sama yang ditemukan di desa lain. Apalagi pantun yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu yang sudah mengalami perubahan karena pantun tersebut tidak tertüis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.