Orkes Tongtong, dari Timur Daya Sumenep

Instrumen dan Irama

Tongtong, istilah yang berasal dari tiruan bunyi itu digunakan untuk menyebut satu kelompok alat musik, yaitu sejenis kentongan, sekaligus untuk menyebut orkes yang terdiri dari sejumlah tongtong. Dalam bahasa Madura yang lazim, istilah itu biasanya menyiratkan makna lain yang tidak selalu dieksplisitkan, yaitu perreng, atau bambu (Bambusa). Jadi, kecuali ada keterangan lain, tongtong adalah kentongan yang dibuat dari batang bambu atau akar bambu. Tongtong seperti itu disebut juga tongtong perreng.

Untuk menyebut kentongan yang besar, terbuat dari pokok pohon kelapa atau pohon siwalan yang lubangi, yang lazim digunakan secara horisontal, digunakan nama orkes yang dibentuknya, yaitu okol, dengan nama tambahan menurut ukuran atau fungsinya di dalam orkes yang bersangkutan. Istilah lain adalah dhungdhung. Menurut Kiliaan, digunakan juga istilah tongtong atau tùng tùng untuk menyebut kentongan kecil yang terbuat dari bambu atau kayu dan mudah dibawa dan dhúngdhúng untuk kentongan besar yang terbuat dari kayu.

Sering juga digunakan bersama dengan tongtong bambu sebuah kentongan yang bernama tongtong ta’al. Disebut demikian karena terbuat dari buah pohon tal yang dikeringkan dan dilubangi. Saya tidak menemukan tongtong yang terbuat dari bahan lainnya, misalnya tongtong dari logam, seperti yang antara lain dapat ditemukan di Jawa

Tongtong perreng mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam sekali: berbentuk silender bila dibuat dari sebatang bambu, berukuran mulai 20 cm sampai hampir satu meter; berbentuk labu bengkok bila terbuat dari akar bambu, berukuran dari sekitar 10 sampai 30 cm; celahnya selalu hanya satu dan membujur. Untuk menabuh tongtong, satu tangan memukul dengan sebatang kayu kecil, sedangkan tangan yang lain memegangnya.

Orkes tontong paling umum dibentuk pada bulan Ramadhan ketika sejumlah penabuh biasa berlalu-lalang di sekeliling desa sepanjang malam. Alat-alat musik mereka sangat beragam jenis dan ukurannya tergantung pada dana yang tersedia, keterampilan dan tingkahnya. Masing-masing kelompok dapat menambahkan berbagai alat musik lain di samping kentongan yang merupakan instrumen dasar dari orkes: gendang kembang (gendhang), simbal kecil (kencer, kerca, atau korca), sejenis pekeng atau metalofon kecil berpelat tiga, bertipe do-fa-sol atau fa-sol-la, juga berbagai sempritan.

Kadangkala ditambahkan pula alat musik pukul yang dibuat menjelang acara keliling di atas, misalnya yang dibuat dari tempayan tembikar (kelmo’), ditutup ban dalam truk yang direntangkan dan diikat dengan tali nilon (teknik renovasi serupa digunakan pula untuk gendhang lama tanpa kulit), juga jeriken atau ember plastik kosong.

Alat perkusi terbesar digendong dengan bantuan sarung (sarong) yang diselempangkan di pundak, atau dengan tali pengikat salut ghendhang yang diikat di leher atau di pundak (lihat foto 66 dan 67). Di Batuputih, orkes yang hanya terdiri dari sejumlah tongtong perreng atau perreng molos (yang berarti “seluruhnya dari bambu”) disebut juga tongtong tanpa embel-embel.

Dengan melihat urutan aneka instrumen itu, dapat dimengerti betapa sulit menegaskan apa yang menjadi dasar penyusunan “klasik” dari sebuah orkes, sebagai acuan atau bentuk asalnya. Diskripsi di atas ini adalah apa yang saya saksikan sendiri di beberapa desa di Batuputih sepanjang bulan Mei 1986. Pada bulan Ramadhan di malam bulan cukup purnama dan terang, susunan orkes dapat berubah-ubah menurut jam, kelelahan anggota rombongan, ataupun pertengkaran yang timbul. Ketika itu, desa diselimuti dengungan aneh yang tercipta dari beraneka ragam orkes kecil yang berpapasan di lorong-lorongnya, kadang-kadang sampai subuh.

Pada malam bulan purnama, menjelang pukul 20.00, putra tuan rumah dan salah satu tetangganya mulai membuat alat perkusi. Lalu, empat pemuda tetangga lainnya berkumpul dengan mereka; umur mereka sekitar 20 tahun. Istri mereka, yang muda juga, menonton mereka bekerja, turut tertawa atas gurauannya, dan kadang-kadang membantu merentangkan ban dalam di atas sebuah tempayan, namun pekerjaan itu rupanya merupakan urusan kaum laki-laki. Di sekitar pukul 21.30, rombongan kecil dari desa Gedang-Gedang meninggalkan pekarangan rumah.

Kaum laki-laki membuka jalan dengan perkusi diselempangkan di pundak dan perempuan menyusul bergerombol di belakang tanpa instrumen sama sekali. Rombongan itu menuju ke perempatan jalan di sebelah Timur. Sesampai di sana kaum perempuan berhenti sedangkan para laki-laki meneruskan perjalanan mereka dan mulai memukuli instrumennya. Sedikit lebih jauh terlihat segerombol anak laki-laki duduk di pinggir jalan tanah; ada yang belum enam tahun usianya, tetapi, bak jangkrik sibuk mengerik, mereka menabuh tongtong perrengnya dengan pukulan pendek bertubi-tubi.

Rombongan kami membuka percakapan dengan mereka, lalu menarik mereka untuk berjalan bersama menuju ke selatan. Setelah beberapa kesulitan untuk menyesuaikan iramanya, semuanya mulai bermain bersama-sama sambil berjalan; orkes pertama terdengar lebih kaya perkusinya setelah ditambah pukulan nyaring dari orkes kedua (terutama tongtong perreng dan tongtong ta’al). Lebih jauh lagi, terdengar meski belum terlihat, ketukan orkes lain; kemudian barulah para pemainnya terlihat duduk di pinggir jalan sambil asyik bermain.

Mereka berasal dari desa Tengedan. Semacam kesepakatan spontan terwujud: kedua rombongan bermain silih berganti sementara rombongan kami terus maju kemudian berbaris di depan yang duduk. Musik yang bergerak maju merangsek pada para pendengarnya itu, memberikan kesan “menantang” yang jelas sekali ketika muncul rombongan musik pesaing. Lalu, ketika kedua rombongan bersahutan satu sama lain sambil mendekat, terwujud kesan pertentangan bunyi dengan nada konfrontasi perang pada musik itu.

Orkes kami berhenti sekilas di pinggir jalan tanah dan kami duduk beristirahat. Giliran orkes terakhir yang baru saja kami lalui untuk bolak-balik melewati kami. Lalu kami kembali menuju ke jalan aspal; sesampai di situ, kedua orkes duduk, dengan jarak di antaranya sekitar sepuluhan meter dan bermain cukup lama sahut-menyahut. Kadang-kadang yang satu bermain sedikit bertumpang-tindih dengan yang lain sehingga musik terdengar berkesinambungan. Kadang-kadang salah satu dengan tenang menanti orkes lain diam untuk memulai iramanya.

Bila sepeda motor, minibus, atau colt muncul, mereka segera mengosongkan jalan. Seorang pria berusia matang memper- lihatkan kepada anggota rombongan kami beberapa “kiat permainan”: untuk gendhang yang paling rendah, bagaimana “menimbang-nimbang” pukulan di antara kedua ujung berselaput kulit; untuk simbal kecil, bagaimana menaikan akselerasi sedikit demi sedikit supaya dinamika musik tidak melemah. Di sekitar pukul 23.00, orkes Tengedan pulang. Yang paling muda yang telah bergabung dengan kami juga tampak lelah. Beberapa pemuda menyanyikan lagu Madhura diiringi perkusi mereka, lalu rombongan kami memutuskan juga untuk pulang. Ketika mendekati perumahan, orkes berhenti bermain. Diketahui bahwa di salah satu rumah ada seorang perempuan yang sakit; oleh karena itu, tidak ada satu pun rombongan yang berani bermain.

Orkes tongtong yang disebutkan di atas seharusnya bermain menjelang subuh, antara pukul 02.00 dan 03.00, supaya dapat membangunkan orang yang berpuasa dan mengingatkan mereka agar bersahur sebelum matahari terbit (saor). Akan tetapi, anak muda cenderung bermain pada awal atau tengah malam agar sempat bermain lebih lama dan lebih baik.

Musik orkes tongtong selalu dimainkan berdasarkan improvisasi dan formula ritmis yang cukup pendek, diulang-ulang oleh satu atau beberapa alat sekaligus. Alat perkusi yang lebih rendah bunyinya (gendhang dan tempayan) menyusun irama jalin-menjalin (Cth. 1) yang merupakan struktur keseluruhan permainan.

Tongtong sendiri mengisi sinkope yang disediakan oleh perkusi rendah. Tempo cepat atau lambat sesuai dengan energi pada saat itu, dipercepat di sana-sini. Intervensi musik (istilah komposisi musik tidak layak digunakan karena tidak ada repertoar tertentu) dimulai dengan rumus pebukaan (Cth. 2) dimainkan dengan gendhang dengan cara yang selalu sama.

Semua instrumen lain segera membentuk puzzle irama yang gencar, kemudian biasanya berpegang pada formula ritmis yang sama; di sepanjang permainan, alat-alat tetap pada posisinya di dalam susunan dasar yang ditentukan oleh perkusi bernada rendah. Simbal-simbal kecil dipukul pada setiap ketukan dan setengah ketukan, meskipun sesekali pukulannya secara mendadak dijadikan triol titinada berbendera satu (untuk “memajukan” musiknya) atau dijadikan susunan “satu titinada berbendera satu-dua titinada berbendera dua-satu titinada berbendera satu” (untuk menggerakkan musiknya). Bersama tongtong perreng dari akar bambu yang amat keras suaranya itu, simbal-simbal kecil mengisyaratkan formula penutup (Cth. 3) yang merupakan turunan dari formula pembukaan dan memberikan tanda pada semua alat untuk berhenti bermain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.