Remeh-Temeh Untuk Keagungan Puisi

Itulah beberapa butir catatan saya yang tampak galau. Meskipun begitu, saya berharap, ia akan lebih dibutuhkan bagi kawan-kawan penyair muda (Madura) daripada saya menyanjung-nyanjung penyair dan puisi tanpa alasan. Semua ini saya tulis sembari tidak menutup mata bahwa saya juga melakukan kesalahan-kesalahan sejenis, dulu, atau pula sikap latah yang sama, tanpa invensi, serta kekerdilan lainnya. Apa yang saya sampaikan hanyalah sebuah keinginan agar kita berpikir lagi, membuat pertanyaan untuk diri sendiri: untuk apa puisi itu ditulis dan seberapa penting ia dibandingkan dengan bahasa sehari-hari di dalam hidup ini jika dengan bahasa awam kita sudah bisa menjelaskan segala sesuatu kepada masyarakat?

Saya juga tidak menutup mata dengan mengatakan bahwa secara pukul rata, semua puisi yang saya baca hanyalah menjadi gambaran sebagaimana kegundahan di atas, tidak. Saya menemukan beberapa puisi—dan sayangnya bukan beberapa penyair karena kecenderungannya memang muncul pada judul per judul, bukan orang per orang—yang dalam rasa bahasanya saja sudah memiliki keasyikannya tersendiri. Tentu, rasa saya ini belum lagi menyentuh pada tingkat gagasan dan gaya. Karena jika telah melampaui itu semua, maka jelas puisi tersebut adalah puisi yang berhasil, tidak latah, tidak seperti kebanyakan, berada di luar pusaran.

Meskipun kebanyakan masih berasyik-masyuk dengan lirisme, tidak terlalu menjadi persoalan jika sebagiannya sudah ada yang mewakili keunikannya, misalnya puisi yang menyorot tema ketimpangan sosial dalam perspektif berbeda. Dengan begitu, semakin semaraklah khazanah perpuisian Madura, kalangan muda khususnya.

Adapun puisi yang menyedot perhatian saya tentulah puisi yang dalam sekali pembacaan telah menyimpan magnet berbeda dengan ketika dibaca untuk yang kedua, apalagi yang ketiga dan seterusnya. Pada saat membaca puisi Fakih, Badrul, Ridho—ini hanya contoh sehingga yang lain tidak perlu cemburu—seakan membuat saya minder sembari merasakan betapa tidak berdayanya saya ini andai harus membuat karya seperti mereka di kala saya masih muda.

Satu hal yang harus digarisbawahi dalam proses ini: diktum “untuk apa menulis puisi jika maksudnya masih harus ditanyakan kembali kepada penyairnya” sedikit banyak juga kurang tepat untuk disetujui karena diktum tersebut memungkinkan seorang penyair lepas tanggung jawab terhadap teks yang telah diproduksinya. Lantas? Ketika seorang penyair mencoba berjudi dengan kata-kata yang tidak dikehendakinya, waton, asal, dan kebetulan saja itu seolah menarik, selamatlah ia dari kesembarangannya.

Inilah resiko dari diktum tersebut. Kita harus curiga pada diktum itu ketika ia diucapkan oleh seseorang. Boleh jadi ia berdiri sebagai asas puisi, bahwa puisi memang demikian adanya; ditulis karena dianggap menjadi cara yang tidak mungkin ditempuh oleh bahasa biasa, namun bukan mustahil bisa pula ia diproyeksikan menjadi tameng kengawuran.

Setelah usai membaca puisi-puisi ini, saya bahagia. Suka cita tentu lebih bergairah pada saat saya membaca karya-karya mereka yang mengusik pikiran, menuntut saya beringsut ke pinggir, bahkan seolah hendak mengajak berhenti menulis, lalu lengser dan meletakkan mahkota kepenyairan, lantas mempersilakan mereka saja yang duduk di atas singgasana. Saya bahagia, saya bangga. Di usia belia, mereka telah melakukan apa yang bahkan tak mampu saya lakukan di usia empat puluhan, usia yang konon dianggap matang bagi seorang manusia.

Akan tetapi, karena kepenyairan merupakan proses, maka sebelum saya melangkah mundur, saya tetap harus mengajukan tantangan: sanggupkah mereka bertahan untuk terus berkarya hingga ajal menutup mata? Sedikitnya, saya yang terpaut jauh dengan mereka dalam usia, telah memenangkan tantangan ini meskipun tantangan itu tidak selesai di sini, di hari ini, namun hingga nanti, hingga entah, pada catatan-catatan dan komentar orang setelah karya kita hidup dan berjalan sendiri karena kita—yang selama ini mengasuh dan membimbingnya—telah mati.

____________

Makalah ini insya Allah akan disampaikan dalam diskusi buku Ketam Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura, diterbitkan oleh Lembaga Seni & Sastra Reboeng, dilaksanakan di Pendiopio Keraton Sumenep, Sabtu, 20 Februari 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.