Pengantar Jamal D. Rahman
…
aku ombak
Berdebur
Memanjang
Mencari diam
yang hilang
di dalam engkau.
(Muhammad Ali Fakih, “Di Laut Musik”, dimuat dalam buku ini).
Dalam kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, Madura adalah taman subur bagi puisi Indonesia. Bunga-bunga puisi tumbuh dan mekar dari pulau kecil ini dalam jumlah relatif tinggi, menghiasi berbagai media massa di berbagai daerah Indonesia, baik cetak maupun online. Banyak juga puisi dimuat dalam beberapa bunga rampai yang terbit di luar Madura untuk beberapa dalam rangka. Tumbuh pula sejumlah sanggar dan komunitas sastra, yang tentu saja menyediakan likungan kondusif bagi gairah kehidupan puisi dan sastra pada umumnya. Terbangun juga jaringan antara beberapa komunitas sastra di Madura dengan komunitas-komunitas sastra di Jawa, Sumatera, dan lain sebagainya. Beberapa penyair asal pulau ini menerbitkan buku puisi, meluncurkannya di berbagai kota, menghadiri forum-forum sastra baik di dalam maupun di luar negeri, dan lain sebagainya. Beberapa karya mereka mendapatkan perhatian dan dibicarakan oleh kritikus sastra. Secara berlebihan dapat dikatakan bahwa dalam satu dekade terakhir terjadi ledakan puisi Indonesia di Madura.
Seiring dengan gairah kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya) itu, yang tak kalah menarik adalah bahwa para penyair Madura yang muncul dalam dekade terakhir tampak benar-benar bergulat dalam puisi: mencari tema, bentuk, corak, dan gaya bahasa khas masing-masing. Sebagiannya melakukan percobaan-percobaan menantang dan berani. Hasilnya adalah corak puisi yang relatif beragam di antara generasi ini. Sudah tentu keragaman corak itu telah memperkaya corak umum puisi penyair-penyair Madura, sekaligus menandai perbedaan penyair Madura generasi ini dengan penyair Madura generasi sebelumnya. Lebih dari itu, keragaman corak itu bukan saja punya arti penting bagi puisi dari penyair-penyair Madura sendiri, melainkan juga bagi puisi Indonesia secara umum.
Perbedaan corak puisi yang cukup mencolok terlihat misalnya pada M Fauzi dan Faidi Rizal Alif, dua penyair yang dari segi usia sedikit lebih senior dibanding beberapa penyair dalam antologi puisi Ketam Ladam Rumah Ingatan ini. Fauzi mengeksplorasi gaya dan tenaga bahasa hampir-hampir dengan kebebasan penuh: menciptakan bunyi, memainkan kata-kata Madura dan Arab atau Al-Quran (yang kadang-kadang terasa sebagai mantra), membangun suasana magis, memainkan tanda baca, dan mengeksplorasi tipografi. Penyair yang kini dosen STKIP PGRI Sumenep ini sudah cukup lama menemukan gaya puisinya, dan terus mengembangkannya hingga sekarang. Salah satu puisi M Fauzi (Horison, Desember 2015):
7.23 SEHABIS MENUNGGUMU
7.23 aku menunggumu, sayang. tangis anakku sehabis bunda mengerang-mengedan. antara sakit dan bahagia.
7.23 istriku, di rumah sakit ini, aku teteskan air mata saat kau merasa sakit tak kepalang. wahnan ala wahnin. wahnan ala wahnin. wahnan ala wahnin. dadaku sesak seperti ada besi berkarat di tenggorokanku. sesak yang entah. luka yang entah. bahagia yang entah. bingung yang entah. aku diserbu rasa takut yang mengabut di runcing kuku dan waktu.
istriku, penantian ini hanyalah tuhan yang tahu. doa apa yang tak kubaca saat kau miring ke kanan ke kiri. sakitmu, sayang, aku tak mampu membaca, seperti warna kematian jadi bayang di atas awan pikirku.
7.23 istri dan anakku. 7 juni 2014 istri dan anakku, dokter, perawat, bidan, ibu, mbak indri, dinding warna krem, dan infus yang ngukus. kau pun mengedan dalam sandaran. tangis itu, sayangku, mengalahkan amuk deru dan mesiu.
7.23 anakku, kau buka mata, dan dunia lebih dingin dari tangismu. lebih gelap dari kulitmu. lebih kejam dari waktu.
7.23 sayang, genap sudah. Tuhan!
Sampang, 7 Juni 2014.
Sementara itu, Faidi Rizal Alif pada mulanya menulis puisi sebagaimana umumnya puisi Indonesia modern, yakni puisi bebas dan puisi prosais. Belakangan, dia mulai menulis bentuk puisi yang mengacu pada bentuk puisi tradisional Arab dengan metrum (bahr/`arûdh) dan rima akhir (qâfiyah) yang ketat dan teratur. Tidaklah mengherankan kalau Faidi Rizal mengambil bentuk puisi tradisional Arab, sebab dia pernah belajar di pesantren di mana teori sastra Arab (ilmu balâghah) diajarkan dan puisi tradisional Arab cukup dikenal. Penting dikemukakan bahwa koneksi antara puisi Indonesia modern dengan ilmu balâghah ini merupakan fenomena baru di Madura, yang nanti akan disinggung sekilas lagi. Salah satu puisi Faidi Rizal Alif (Horison, September 2015):
MATA CANGKUL
Kucangkul saja hatimu yang gersang. Setelah tak ada lagi hujan datang
Sampai keringatku mengucur perlahan. Menyusup ke dalam ‘lah-celah harapan
Lalu kutanam ‘ji-biji doa segar. Yang sengaja kupilih agar tak liar
Sampai hatimu yang semak tidak lagi. Seperti hutan rimbun tanpa nurani
Setelahnya kubasuh cangkulku ini. Dengan air matamu menetes sunyi
Sebab masih ada yang belum selesai. Dan perlu kucangkul lagi sampai usai
Sampai hatimu benar-benar subur. Dan doaku tumbuh semakin segar
Nanti kita akan menikmati buah. Buah matang di balik resah gelisah
Bandungan, 2015.
Sebagaimana telah dikatakan, puisi Faidi Rizal Alif di atas mengadopsi bentuk puisi tradisional Arab. Setiap barisnya terdiri dari dua bagian, bagian pertama dan bagian kedua, yang masing-masingnya berima akhir (qâfiyah). Setiap bagiannya menggunakan metrum (bahr/`arûdh) secara sama dan teratur, masing-masing terdiri dari 11-12 suku kata. Dalam puisi tradisional Arab, metrum (bahr/`arûdh) beragam: pendek, sedang, dan panjang. Faidi Rizal mengambil bentuk metrum sedang. Hanya saja, karena persoalan teknis, tipografinya tidak bisa menyerupai tipografi puisi tradisional Arab. Dalam puisi tradisional Arab, bagian pertama tersusun bersama bagian pertama berikutnya (di bawahnya) dengan komposisi rata kiri dan kanan, sehingga membentuk satu pilar; demikian juga bagian kedua tersusun bersama bagian kedua berikutnya (di bawahnya) dengan komposisi rata kiri dan kanan juga, sehingga membentuk satu pilar lagi. Maka, puisi itu secara tipografis membentuk dua buah pilar. Itu sebabnya, puisi tradisional Arab disebut berpilar (`amûdȋ).
Tentang sejauhmana percobaan para penyair Madura ini berhasil, tentu perlu pembicaraan tersendiri. Poin saya di sini adalah bahwa usaha penyair-penyair Madura dalam pergulatan mereka menciptakan puisi paling tidak telah membuahkan suatu hasil, yakni corak puisi yang secara cukup mencolok beragam, corak yang berbeda antara satu penyair dengan penyair lainnya. Corak yang, sekali lagi, sedikit-banyak membedakan generasi ini dengan generasi sebelumnya. Memang, puisi setiap penyair pada dasarnya berbeda satu sama lain, terutama menyangkut tema, detail, dan intensitas puisi masing-masing penyair. Tetapi tanpa perbedaan yang mencolok antara satu penyair dengan penyair lain, bentuk atau corak puisi seakan berhenti. Penemuan tema dan bentuk baru puisi bagaimanapun merupakan tantangan kreatif penyair, dan percobaan adalah salah satu cara untuk mencapainya. Itu sebabnya, percobaan yang intens dan menjanjikan patut diapresiasi.
Maraknya kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya) di Madura khususnya dalam satu dekade terakhir telah melahirkan cukup banyak penyair dengan corak puisi yang relatif beragam: M Faizi, Mahwi Air Tawar, Timur Budi Raja, Ali Ibnu Anwar, Harkoni Madura, Fendi Kachonk, Benazir Nafilah, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan produksi cerpen dan novel dari sastrawan-sastrawan Madura, yang juga muncul dalam dekade terakhir, antara lain Joe Mawardy, Nun Urnoto, dan Vita Agustina. Ini merupakan babak baru sejarah perkembangan puisi dan sastra Indonesia di Madura. Belum pernah terjadi sebelumnya kehidupan sastra Indonesia di Madura sedemikian maraknya seperti dalam satu dekade terakhir, yang dibarengi dengan produksi karya sastra yang relatif tinggi. Sudah tentu ini merupakan salah satu fenomena penting sastra Indonesia, yang dalam hal produksi karya sastra memang begitu bergairah di mana-mana, tersebar di berbagai daerah Indonesia. Madura kini merupakan satu daerah sastra Indonesia yang layak mendapat perhatian sebagai satu eksemplar fenomena dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir.
Sebagaimana halnya Madura, banyak daerah memiliki kehidupan dan perkembangan sastra Indonesianya sendiri, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Riau, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan, Aceh, Kupang, Tasikmalaya, Tegal, dan lain-lain. Saya menyebutnya sastra kawasan, yakni fenomena kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia di suatu kawasan atau daerah. Fenomena sastra kawasan itu ditandai dengan produksi dan publikasi karya sastra, forum sastra, kritik sastra, leksikon sastra, dan penghargaan untuk tokoh yang memberikan kontribusi penting di bidang sastra di kawasan atau daerah itu sendiri. Menyebarnya produksi dan gairah kehidupan sastra Indonesia di berbagai daerah ini tidak bisa tidak menuntut akademisi, kritikus, pengamat, dan peneliti sastra untuk mengarahkan perhatian khusus pada sastra kawasan, antara lain di Madura, yang bukan tak mungkin menyajikan corak lokal dan khas mereka masing-masing.











