Para penyair muda Madura ada yang telah berupaya melakukan pecobaan untuk meraih temuan baru (invention), seperti yang dilakukan oleh Faidi Rizal (kebetulan tidak masuk dalam buku ini) dengan membuat untaian setara, puisi bersajak a-a, b-b. Seperti Faidi, Sofyan RH Zaid dan Farid Kacong juga membuat puisi dengan persajakan ketat, pengutamaan pada rima. Sekecil ini pun usahanya, ia adalah percobaan. Namun apakah tindakan “sekadar seperti ini” sudah cukup untuk disebut invention, maka itulah ia yang harus kita bicarakan lebih jauh lagi.
Hal lain yang ditempuh oleh banyak penyair adalah memasukkan lema baru dari Bahasa Madura yang sebagiannuya bahkan belum dinaturalisasi. Ini tidak masalah jika hal itu memang niscaya atau diperlukan. Lema baru seperti ini, karena dianggap istimewa dan belum masuk keluarga besar Bahasa Indonesia, aturannya dicetak miring. Di sini, saya menemukan kawan-kawan penyair muda begitu bebasnya memperlakukannya.
Dimaklumi jika tindakan tersebut demi alasan persajakan, misalnya, tetapi disayangkan jika ia digunakan hanya karena tidak tahu padanan, seperti menulis “maronggi” bukan karena alasan sajak, hanya karena tidak tahu bahwa ia setara dengan “kelor” atau “merunggai”. Menggunakan “kaleles” jelas dimaklumi karena ia adalah salah satu perangkat dalam karapan sapi yang notabene identik dengan masyarakat tertentu, di antaranya di Madura dan tidak di tempat lain.
Hal ini bebeda dengan penggunaan kata “palowan” untuk menyebut bidang tanah yang ditinggikan di tegalan (untuk ditanami/penyemaian), padahal yang demikian itu sudah pasti biasa ditemukan dan diketahui oleh masyarakat agraris Nusantara secara umum. Di dalam KBBI, padanannya adalah “terumbuk”. Maka oleh sebab itu, perlu diperhatikan agar dalam menggunakan kata daerah (asing) kita harus memiliki alasan tertentu selain hanya dalih suka-suka saja, apalagi hanya karena kita malas mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
Penjelajahan dan percobaan masih harus terus diupayakan oleh penyair muda Madura agar tidak terus dibayang-bayangi oleh para pendahulunya. Permainan enjambemen ataupun tipografi, diksi dan citraan khusus, dan juga penyusupan kata/frasa daerah adalah sebagian wilayah yang sudah dijamah. Apa yang dilakukan Raedu Basha, misalnya, dengan mengangkat khazanah jagat perkiaian dan kekeramatan, atau Ali Fakih yang mencakup spasial dan filosofi, adalah satu upaya dalam gagasan dan tema. Ada yang lain yang mencoba melakukan elaborasi dalam ranah bentuk-bentuk, seperti yang saya temukan pada Anwar Noeris (rata tengah), Sofyan dan Farid (rata tengah dengan tanda nomor), Saifa Abdillah (dua baris per bait), Rosi Praditya (satu bait, satu paragraf) atau Joko Sucipto dan Sengat Ibrahim (multiparagraf rata samping), ataupun Hayyul Mubarok dan Ali Fakih yang menggunakan enjambemen dan tipografi. Semua itu adalah upaya untuk menemukan cara karya baru meskipun seberapa jauh upaya dan hasil temuan itulah yang tetap harus diperdebatkan dan diuji.
Kita harus berhati-hati pada permainan (bentuk) yang tanpa landasan pemikiran atau gagasan berarti karena akan kurang menggigit, kurang greget, bahkan bisa terjerumus pada kesalahkaprahan jika tanpa disadari (contoh: seperti penggunaan hyphen–minus di awal kalimat). Saya kira, yang demikian ini bukan lagi ciri khas, tidak termasuk eksplorasi, melainkan eksperimen yang nir-arti.
* * *