Remeh-Temeh Untuk Keagungan Puisi

Mengapa Madura dan Mengapa Puisi?

Di Madura, sastrawan yang lahir dan muncul pada umumnya adalah penyair, bukan cerpenis atau novelis. Penulis prosa hanya dapat dihitung dengan jari, berbanding secara jomplang jika disejejarkan dengan penulis puisi. Hanya selangkah setelah menyebut nama Fudoli Zaini yang sudah lama berpulang, kita lantas akan mendadak kesulitan untuk mengajukan nama-nama prosais lain yang sudah mapan. Siapa lagi? Sementara, saya jawab dulu tidak ada, paling-paling hanya Mahwi Airtawar yang baru menerbitkan kumpulan cerpen dan Badrul Munir Chair yang baru menerbitkan novel.

Memang, ada lagi senarai nama yang lain, seperti Saidi Dahlan yang bahkan sudah menerbitkan lusinan buku prosa, termasuk fiksi dan nonfiksi. Akan tetapi, karena kebanyakan karya Saidi diterbitkan sebagai “buku proyek” dan “buku lomba”, sulit untuk menemukan buku-bukunya nangkring di display toko buku. Jika ditemukan nama-nama lagi, kemungkinan besar mereka adalah para penyair yang nyambi menulis prosa.

Selain nama di atas, ada nama Muchlis Amrin yang juga iseng menulis cerpen di antara kegigihannya berpuisi. Kiranya, hanya tersisa nama Edi AH Iyubenu yang (dulu pernah) secara menggila menulis cerpen. Karyanya muncul di hampir seluruh media cetak, terutama koran, di tanah air. Pada masanya, soal produktivitas, Edi bahkan nyaris tidak menemukan tandingannya.

Di pesantren Annuqayah Luk-Guluk dan Al-Amien Prenduan, dua pesantren yang banyak melahirkan penulis dan sempat saya amati perkembangan kepenulisan sastranya, nyaris tak seorang santri pun yang menulis atau berniat menjadi novelis. Semuanya hanya ingin dan melulu menulis puisi. Penulis cerpen hanya muncul satu dua saja, itupun dari kalangan santriwati, seperti Ida Royani dan Hanna Ithriyyah serta Ana FM, dan belakangan ada nama Vita Agustin. Sisanya? Ya, menulis puisi.

Ini menjadi gambaran bahwa ranah puisi rupanya jauh lebih menarik bagi para remaja Madura sebagai pilihan dalam menemukan eksistensi kepenulisannya. Maka, sudah barang tentu dan wajarlah saja jika gagasan penerbitan buku antologi puisi bersama penyair muda Madura ini terbit lebih dulu daripada kumpulan cerpennya.

Perkecualian untuk bagian ini, tidak ada pembicaraan seputar karya-karya prosa lain yang luput dari amatan, seperti penerbitan buku prosa dan puisi yang kini mengharu-biru seiring dikenalnya penerbit indie dengan cetakan model dummy dan atau dicetak bergantung pesanan. Era ini menandai penerbitan dan mudahnya menerbitkan buku yang nyaris tidak jauh berbeda dengan fotokopi dalam hal kemudahannya.

Di sisi lain, bagian gelap dari “kemajuan” ini adalah rendahnya telisik editorial pada pengatakan dan penyeliaan yang—mohon maaf—bahkan untuk penyuntingan tata bahasanya saja masih belepotan. Perlu dicatat, buku-buku seperti ini sungguh banyak, dicetak dengan jumlah yang juga banyak. Ia tersebar secara rahasia dan wajar jika luput dari pengamatan umum karena memang tidak dijual secara bebas, tidak masuk toko buku, dan atau pula dijual di komunitas terbatas saja.

* * *

Terhimpunnya lebih 1000 puisi dari lebih 100 penyair dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan bolehlah disebut fenomenal, lebih-lebih jika mengingat woro-woronya hanya disebar terutama di media sosial. Akan tetapi, di sisi lain, kenyataan ini juga menyisakan kegundahan karena mengesankan kerja bergulut dan oleh karenanya muncul sangkaan rendahnya keterwakilan. Intinya, para penyair yang terlibat, baik yang lolos maupun yang tidak, kurang menyeluruh sehingga pada akhirnya buku Ketam Ladam Rumah Ingatan ini hanya mewakili sebagian penyair muda Madura yang bisa mengakses internet saja.

Begitu dugaannya, soalnya masih terbuka kemungkinan adanya penyair yang bertapa di kamar tanpa tersentuh jejaring sosial dan internet namun berkarya terus-menerus dan mungkin saja punya karya yang bagus sangat yang sayangnya tidak tahu-menahu pada peristiwa penting ini.

Andai saja rentang masa publikasi pengumpulan naskah lebih lama, tentu akan lebih banyak lagi yang terlibat dalam penyaringannya (pernyataan ini nanti akan dijelaskan oleh panitia Tim Sembilan, bahwa persebaran informasi sebetulnya sudah maksimal dengan cara dan trik tertentu; internet hanya sebagian bentuknya saja).

Meskipun begitu, dengan hanya mencukupkan diri kepada naskah yang masuk, seperti disampaikan pada paragraf pembuka, pemilihan dan pemilahan karya para penyair muda ini sudah begitu merepotkan, khususnya bagi saya (alasannya saya jelaskan pada paragraf setelah paragraf ini). Dalam membaca naskah-naskah puisi yang masuk, saya melakukan beberapa kali tahapan pembacaan. Pasti, semua puisi saya baca.

Tidak ada spekulasi untuk menyingkirkan karya penyair tertentu hanya dengan membaca satu-dua judul atau pada halaman pertamanya saja. Seluruhnya saya baca. Semula, saya menyisihkan 25 nama untuk kategori “lolos I” dan 16 nama lain untuk kategori “lolos II”. Sisanya, ada 19 nama lagi, diparkir di kardus khusus, tidak masuk ke dalam map.

Sejumlah 41 nama akhirnya dihimpun setelah saya memasukkan beberapa dari “lolos II” dan beberapa lain dari kurator tandem (Syaf Anton WR). Tidak berhenti di sini, setelah semua proses selesai, kami kembali membaca ulang naskah-naskah yang telah tersingkir untuk mencari kemungkinan adanya salah gelogok yang kami lakukan di saat memilih.

Sebelum pemilihan dilakukan, dengan bantuan orang lain, semua nama penyair dicoret menggunakan spidol agar pemilihan berlangsung lebih jujur, untuk menghindari pemilahan yang didorong oleh sebentuk rasa iba—sekecil apa pun itu—karena nama yang sudah dikenal. Memang, ada beberapa naskah yang langsung saya kenali karena beberapa alasanya.

Di antaranya karena menggunakan simbol khusus “tanda nomor” (#) yang oleh penyairnya disebut “pagar”; karena puisi sudah pernah terbit dan saya pernah membacanya, dan; karena adanya diksi dan frasa sepesifik yang saya kenal. Akan tetapi, saya baru menelisik ulang nama-nama itu setelah ada keputusan lolos/tidak.

Usai menimbang sekitar 500 lebih judul puisi yang masuk, tidak bijak rasanya jika saya bergelap mata lalu berkata bahwa hanya ada seperempatnya saja yang layak. Yang saya hadapi bukanlah soal angka statistik. Yang ada di hadapan adalah karya dan momen puitik, yaitu sebuah proses panjang yang mestinya ditempuh secara khidmat, bukan kerja buru-buru seperti laporan jurnalistik.

Di saat saya mengatakan “ini layak”, resikonya adalah pertanyaan “mengapa yang itu tidak layak?”. Selanjutnya, saya (juga Syaf Anton sebagai teman kurator, termasuk Tim Sembilan yang lebih dulu memilih sebelum kami) harus dapat menjawab pertanyaan klasik, “Lantas, puisi yang baik itu seperti apa?”. Kurator yang notabene juga menulis puisi, dalam situasi seperti ini, akan menghadapi tugas yang lebih berat lagi. Ia harus menjelaskan ini-itunya secara ilmiah.

Pamuncak dari kesulitan itu adalah ketika saya menemukan—anggapalah—hanya 1 puisi saja yang layak di antara 9 puisi yang lain yang tidak. Sementara panitia menghendaki 4-5 puisi per penyair (ini menyangkut alasan teknis).

Akan tetapi, kiranya, cara yang demikian ini relatif bersahabat dan baik mengingat prinsip “1 tidak mewakili 10” karena ia sama dengan “kebetulan bagus di antara yang keseluruhannya jelek”. Bagaimana pun, proses kepenyairan yang notabene merupakan kerja kreatif itu tidaklah menjunjung unsur kebetulan, melainkan proses dan penghayatan dalam berkarya, bahwa puisi yang ditulis itu memang haruslah diketahui dan disadari keunggulannya oleh penyairnya sendiri.

* * *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.