Remeh-Temeh Untuk Keagungan Puisi

Kasus serupa begitu pula terjadi dengan penggunaan partikel ‘pun’ dan partikel lainnya. Kesalahan demi kesalahan dalam urusan kata depan dan preposisi ataupun penggunaan partikel lain seperti di atas menyiratkan anggapan bahwa seolah-olah penyair itu seorang voorijder atau sopir ambulan atau damkar yang boleh menerobos lampu merah dan atau melanggar marka jalan, padahal dalam melanggar pun ada aturannya. Yang artinya, menulis “di” sebagai awalan tetapi tidak ditulis serangkai itu adalah kesalahan, bukan bagian daripada lisensi yang didapat dari SIM (surat izin melanggar)-nya penyair.

Apakah yang demikian ini dapat dimaklumi? Tidak, ia niscaya, lebih-lebih bagi seorang penyair yang kedudukannya setara munsyi. Penyair itu bukan sekadar tukang yang bisa mencampur air, pasir, dan semen. Penyair melampaui tukang karena ia juga arsitek. Maka, dengan demikian, kasus-kasus penggunaan garis bawah, titik dua, garis bawah, hyphenminus, titik koma, dll. dengan tujuan ornamental, haruslah dipikirkan secara matang, bukan sekadar untuk antik-antikan sehingga penggunaannya tetap tepat dan benar. Kalaupun ia akan digunakan secara menyimpang, seorang penyair hendaknya melakukannya dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidak tahu yang kebetulan benar.

Kelima; keluar konteks. Ada beberapa diksi atau wacana yang tidak kontekstual, seperti membicarakan panorama Madura bersanding dengan salju, musim semi, gembala, dll. Mencari citraan suasana alam yang sangat dingin tentu tidak harus semena-mena menggunakan salju, dan demikian pula menggunakan frasa musim semi jika maksudnya adalah musim panas. Menggambarkan situasi dan ruang dengan cara seperti ini alih-alih merupakan suatu upaya melukis suasana romantis, ia justru tidak efektif. Puisi, pada akhirnya, tercerabut akar dan konteksnya.

Keenam; latah. Saya menggunakan kata latah di sini dengan sangat terpaksa karena menimbang begitu banyaknya kata “ingatan”. Kiranya, penggunaan kata “ingatan” pada judul buku juga merupakan bentuk hasil dari pandangan umum karena begitu banyaknya kata tersebut ditemukan di dalam buku. Mengapa begitu banyak kata ingatan disebut? Apakah kata ini sedang naik daun? Sesuatu itu menarik, seperti metafora, ketika ia istimewa, jarang digunakan, eksentrik, aneh, dll.

Kita dapat mengambil contoh pada metafora. Jika ada metafora yang terlalu sering digunakan, akan hilang metaforitasnya. Ia kembali menjadi hal biasa. Daun pintu, kaki meja, bunga desa, telah menjadi bagian frasa biasa, tidak lagi menjadi metafora yang isitimewa. Ia dianggap mati karena terlalu banyak yang menggunakannya.

Begitu pula, memotret Madura hanya melulu dari sudut pandang lautnya, pantainya, atau siwalannya sudah terlampau biasa; mainstream menurut istilah kekiniannya. Yang demikian itu sudah diobrak-abrik oleh penyair terdahulu. Lebih berbahaya jika pemotretan sejenis ini mengacu pada eksotisme alam, seolah Madura tidak punya lagi keindahan yang lain, keindahan dalam persahabatan, solidaritas, gerapyak, kegigihan, watak perantauan, dan etos kerja kerasnya.

Penyair tidak terlarang untuk menyampaikan apa pun, segalanya, baik memuji dan atau mencerca. Apakah membicarakan keterbelakangan, kesemrawutan, ketidaktertiban, dan inferioritas orang Madura yang terjadi di sekitar kita itu merupakan sesuatu yang terlarang? Saya kira tidak, dan bukan pula sebentuk rasa kebencian andai hal itu dilakukan, melainkan justru merupakan sikap cinta dan perhatian.

Kalau kita menyepakati WS. Rendra yang menyatakan bahwa penyair itu harus mengetahui segalanya, maka menjadi penyair adalah tugas yang berat. Meskipun peran dan posisi penyair saat ini sudah jauh berbeda dengan keberadaan penyair pada zaman lalu, terutama pada zaman ketika tidak ada media, di mana penyair masih didewakan dan jadi panutan. Kini, kehebatan pengaruh dan kefigurannya telah dikalahkan oleh wartawan dan juruberita.

Akan tetapi, dengan demikian, menjadi penyair justru menjadi semakin eksklusif, semakin berat. Penyair dituntut untuk terus mengembangkan percobaannya dalam menggunakan bahasa, perspektif, dan terutama metafora yang menurut Monroe Breadsley merupakan ruh atau mahia puisi. Penyair yang melulu menggunakan citraan dan metafora yang sudah basi, ia akan mati tertimbun oleh kata-katanya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.