Selanjutnya, saya akan mendedahkan beberapa butir anotasi hasil pembacaan saya terhadap buku “Ketam Ladam Rumah Ingatan” ini. Beberapa hal di antaranya mencakup urusan yang tampaknya sepele karena sekadar mempermasalahkan hal-hal seputar tatabahasa. Saya beranggapan, tidak ada masalah yang sepele dalam hal ini. Semuanya penting untuk dijelaskan.
Awalnya, saya menduga, hanya di zaman saya saja, yaitu di saat sumber informasi dan buku tidak semelimpah sekarang, kasus elementer seperti ini bisa terjadi sebagaimana dulu sering saya alami bahkan saya lakukan sendiri.
Kenyataannya, di tahun ini, 2016, rendahnya pengetahuan dasar berbahasa merupakan persolan serius yang diidap oleh banyak penyair, padahal kerja kepenyairan sendiri itu melibatkan urusan bahasa secara langsung. Kasus ketidakmampuan membedakan “kata depan” dan “awalan” saja masih sering ditemukan. Mestinya, penyair sudah beres untuk urusan seperti ini. Di luar masalah teknis tersebut, yang lebih menyedihkan, adanya temuan yang malah terjebak ke dalam sontekan (plagiarism). Kiranya, ini adalah dosa kepenyairan dan intelektual paling besar yang tanpa ampun.
Dalam hal gagasan, saya menemukan adanya obsesi pada lokalitas, seolah dengan mengangkat tema lokal, seorang penyair telah menemukan sesuatu yang baru dan origin, tidak ditulis oleh orang lain. Misalnya begini: Jika hanya dengan menyebut Madura, Gili Iyang, Slopeng, atau mayang dan siwalan, Jokotole dan Trunojoyo, kita dapat mendaku diri telah mengangkat apa yang kita sebut dengan lokalitas, maka akan dengan mudah kita mendapatkan teman yang sama, dan itu artinya Anda tidak berada di kawasan unik dan istimewa lagi, umum, kebanyakan, biasa. Lokalitas menjadi tiada artinya. Para penyair pendahulu penyair muda ini sudah lebih dulu menjelajahi kemungkinan-kemungkinan puitikanya.
Dalam hal ini, D. Zawawi Imron jelaslah menjadi penghulunya. Dengan cara yang sama, Anda tidak bisa menandinginya, dan karenanya sulit dilawan. Lantas, untuk apa kita melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan? Menyimak gema suara untuk selanjutnya digemakan kembali tidak akan sejernih sumber suara pertama. Analoginya, akan sangat berat buat Anda untuk menjadi lebih baik dari Rendra jika Anda juga menulis sama seperti yang dilakukan Rendra, dan begitulah seterusnya.
Berikut ini beberapa butir yang saya maksud:
Pertama; salah ketik. Salah ketik dipermasalahkan? Iya, justru ini adalah masalah serius yang cenderung dianggap sepele. Tindakan memperbaiki dan menulis secara sempurna itu mestinya dipelopori oleh si penulis, sang penyair. Penyunting berada di lapis kedua, hanya membereskan sisa-sisa keluputan kecil saja, bukan kebanyakannya.
Dan jika ia merasa itu adalah karya terbaik, penyair tidak ingin memberikan kesempatan pada orang lain untuk memperbaiki hasil karyanya. Ia mestinya ingin memperbaiki sendiri, menatanya, dan mengolahnya kembali. Bagi saya, bahkan salah ketik pun bukanlah masalah sepele jika kita menyadari bahwa menulis puisi sebagai pekerjaan serius yang mestinya juga akan dihitung dari sisi teknis dan nonteknisnya sekaligus. Salah ketik merupakan bentuk ketergesa-gesaan yang merupakan musuh proses kreatif puisi itu sendiri, suatu karya yang tidak bisa sekali jadi.
Kedua; penguasan dan pendayagunaan diksi. Pengetahuan akan diksi, bagi penyair, bukanlah sekadar kemampuan menggunakannya secara tepat. Lebih dari itu, penyair harus mempunyai banyak pundi-pundi diksi untuk digunakannya di dalam puisi.
Diksi, seperti klasik dan arkais, telah mati di dalam kamus. Siapa lagi yang bisa menghidupkannya jika bukan penyair? Wawasan diksi mencakup kemampuan dalam menggunakan diksi yang tepat dan indah. Misalnya; penggunaan “denting” untuk bunyi sesuatu yang “mendentum” atau “berdebam” itu tidak tepat. Kiranya, jika ini dijumpai dalam puisi, saya meyakininya sebagai kesalahan, bukan lantaran penyairnya yang ingin berekspresimen dengan mencoba metafora dan asosiasi yang justru tidak asosiatif. Ia merupakan akibat dari kurangnya wawasan dan pembacaan yang berdampak pada rendahnya penguasaan kosa kata atau diksi yang terbatas.
Ketiga; logika di dalam puisi. Ada penyair yang melakukan tindakan metaforis dengan menggunakan perangkat-perangkat perbandingan langsung namun hasilnya kerap kali mengesankan keterputusan korelasi yang menyebabkan metafora atau statemen-metafora menjadi tidak logis (saya merangkum beberapa contohnya secara khusus, di luar makalah ini, dengan maksud agar disampaikan dalam kesempatan yang lain saja).
Saya kira, ini adalah masalah serius, bahkan krusial. Frasa semacam “di sungai, tempat camar biasa mematuk ikan” adalah salah satu contohnya, karena kita tahu camar adalah burung laut. Demikian pula dengan frasa “:mengayuh perahu dari waktu sampai ke subuh”. Bagaimana cara membuat korelasi antara “waktu” dan “subuh” yang diperantarai oleh kata hubung “dari-sampai”? Dalam metonimia, hubungan teks dengan konteks terkadang memang berjarak sangat jauh, namun bukan berarti terputus sama sekali.
Keempat; kesalahan teknis gramatikal, seperti kasus “kata depan” dan “awalan” yang tidak dapat dibedakan. Mengingat penyair itu adalah tukang bahasa, yang artinya seyogyanya ia memiliki kemampuan penguasaan tata bahasa di atas awam, maka akan sangat ironis jika dalam urusan seperti ini saja mereka masih melakukan kesalahan. Kata depan di (untuk menunjuk ruang/waktu) dan awalan di (untuk awalan kata kerja pasif) yang secara kebetulan sama adalah hal asasi yang mestinya sudah tidak jadi masalah lagi bagi penulis, terlebih bagi penyair yang mestinya melebihi seorang penulis biasa. Kemampuan bahasa penyair itu harus di atas penulis lainnya, apalagi awam.