Posisi senior tertentu hanya terbuka bagi sêntana berdasarkan kecakapannya. Tetapi kemudian orang-orang itu lebih dianggap sebagai priyayi (birokrat) dibanding sêntana. Dan sejak dthapuskannya kerajaan-kerajaan pribumi, sêntana larut menjadi bagian kelas negara, meskipun gelar-gelar mereka tetap digunakan seb agai simbol kebanggaan (sering kali juga kesombongan) dan sumber kekecewaan. Belakangan, pada awal abad XX, dalam kemerosotan dan kemunduran kelas sêntana, merek a yang tidak berubah menjadi priyayi tetap bergaya ario, tetapi dengan konotasi tidak menyenangkan. (Prof. Dr. Kuntowijoyo/Lontar Madura)
Disalin dari buku Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, Madura 1850-1940, Prof. Dr. Kuntowijoyo, Penerbit Matabangsa, Yogyakarta,2002, halaman 239 s/d 252