Posisi Bangsawan Madura Era Penjajahan Belanda

Dalam persidangan pengadilan tanggal 12 Oktober 1883, Surio Adiningrat dituduh sebagai dalang persekongkolan untuk melawan pribumi dan pemerintah Belanda. Ketika ditunjukkan surat-surat dan kartu-kartu itu, dia menyangkal tuduhan itu, dikatakan bahwa anaknya tidak pernah menulis surat, meski dengan logat barisan. Sebuah surat yang langsung disampaikan kepada Ratu mempunyai corak tulisan yang mirip dengan tulisan pêpadang (sertifikat sewa) Raden Ario Surio Adiningrat yang diberikan kepada Pak Mukidin. Sekali lagi Raden Ario Suryo Adiningrat membantah tuduhan itu, karena dokumen tersebut yang menulis adalah sekretaris bernama Lipan, dan dikatakan pula bahwa dia sudah tidak berhubungan dengan Lipan selama 18 tahun, sejak laki-laki itu berhenti menjadi sekretaris ayahnya.

Mengenai ketidak hadiran dia dalam upacara penyambutan asisten residen, dia berdalih waktu itu sedang sakit, dan ketidakhadirannya dalam menyambut Idul Fitri, karena dia bersama Sujono pergi ke Kediri, sedangkan anaknya yang lain, Suryengalogo, pergi ke Surabaya. Surio Adiningrat membantah semua bukti, dengan mengatakan bahwa dia dan keluarga adalah korban sebuah komplotan Belanda memerintahkan untuk mengasingkan dia dan Madura, Sujono dipecat dari barisan, dan terhadap Suryengalogo tidak dilakukan tindakan, tetapi Suryengalogo sudah tidak lagi mempun yai kekuasaan apa-apa. Tidak ada isu-isu dan kecurigaan lain, dan pengadilan tidak lagi mengadili perkara-perkara seperti itu.

Gubernur Jenderal memutuskan dan memerintahkan pengasingan Surio Adiningrat ke Cianjui, Jawa Barat, bers ama keluarga yang mau menyertainya. Perintah itu telah dilaksanakan, tetapi tidak untuk seumur hidup. Empat tahun kemudian, tahun 1.888, setelah penguasa kolonial yakin bahwa Surio Adiningrat betul-betul sudah tenang dan akrab dengan orang-orang Eropa, mereka diizinkan kembali lagi ke Madura.  Setelah dia kembali ke Madura, anaknya mempunyai banyak hutang dan ketika Suryo Adiningrat meninggal dunia, dia mewariskan hutang yang dipinjam dan seorang Cina, Oei Ing Ting, sebesar f3.500 kepada Raden Ario Sujono, yang sudah tidak lagi menjadi anggota barisan.
Kemungkinan adanya kekacauan di Bangkalan dan Sumenep masih menjadi perhatian pemerintah. Pada tah un 1888, seorang pangeran di Bangkalan dicunigai memb uat keonaran. Pangeran Prawiro Adinegoro, yang men erima pensiun sebesar 14.174 dan anak dan panembahan yang meninggal dunia tahun 1847, dilaporkan telah membagi-bagikan jimat kepada keluarga dekat dan tetangga-tetangganya suatu tindakan yang biasanya dianggap sebagai persiapan untuk melakukan perlawanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.