Posisi Bangsawan Madura Era Penjajahan Belanda

Setelah dilakukan pengusutan dengan hati-hati tidak ada bukti-bukti tindak kejahatan yang ditemukan. Pada tahun 1890, di Sumenep, penguasa kolonial menduga adanya suatu aliansi antara kaum bangsawan dengan pemimpin-pemimpin agama Islam untuk menentang Belanda karena para bangsawan, kepala-kepala pribumi, dan penduduk semuanya menjadi muslim-muslim yang taat. Para bangsawan menggunakan nama-nama Arab untuk anak-anaknya, dan perkawinan dengan elite keagamaan sudah tidak asing lagi. Seorang cucu perempuan panembahan yang meninggal dunia tahun 1854, misalnya, menikah dengan Miftahul Arifin, seorang penghulu di Sumenep.

Berkenaan dengan masalah keagamaan ini, pemerintah Belanda umumnya merasakan adanya kebencian terhadap penguasa kolonial. Kecurigaan adanya aliansi antara pemimpin-pemimpin keagamaan, kebanyakan haji, dengan para bangsawan juga terjadi di Bangkalan, di mana kemunduran para bangsawan telah memberi kesempatan untuk lebih dekat dengan para haji tersebut. Rasa malu dan kesukaran-kesukaran yang dirasakan para bangsawan yang dipenjara karena belitan utang, dilihat oleh Belanda sebagai hukuman yang paling berat bagi mereka, dan penahanan bagi mereka yang mungkin akan memberontak dianggap sangat menyakitkan. Tidak ada hukuman yang lebih buruk selain yang diterima Pangeran Sosronegoro, ucap Asisten Residen De Coningh, sehingga mereka sama sekali tidak kehilangan apa-apa bila memberontak. Tetapi, tak ada alasan bagi bangsawan untuk melakukan pemberontakan.

Pudarnya Kelas Bangsawan

Kemerosotan secara alamiah kebangsawanan lewat penyusutan dari generasi ke generasi, terungkapkan dalam pengklasifikasian séntana menjadi tiga kategori: sêntana agéng (bangsawan besar), sêntana (bangsawan), dan sêntana alit (bangsawan kecil). Dalam daftar pekerjaan tahun 1862 (Apendiks 7), sêntana agêng berjumlah 145, sênt ana 1.119, dan sêntana alit 1.121. Sebagian besar sêntana tidak mendapatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang sama seperti sêntana agêng. Hak-hak istimewa yang dimiliki sêntana alit mungkin hanyalah sekadar dapat hadir secara periodik pada pertemuan atau dengar pendapat dengan raja-raja di paséban, di mana di tempat ini masing-masmg gelar disediakan tempat tertentu dan untuk kelas sêntana alit disediakan tempat tersendiri. Pengkajian kernbali hak-hak istimewa perorangan sehubungan dengan pembebasan pajak di Sumenep, antara lain, berarti mengurangi jumlah keanggotaan sêntana menjadi lebih ketat lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.