Posisi Bangsawan Madura Era Penjajahan Belanda

Meskipun tak dapat dihindari kebangsawanan akan lenyap dan tak dikenal, namun lembaga penyalur memberikan satu langkah penangkisan melawan setiap pengikisan. Beberapa sêntana rendahan tetap mempertahankan keanggotaannya melalui hubungan perkawinan atau sistem magang guna diangkat menjadi pegawai di pemerintahan.

Di Madura, seperti juga di kerajaan-kerajaan Jawa, kehadiran “rangkaian kesatuan aristokrasi-birokrasi” akan mencegah hilangnya seluruh dominasi sosial dan politik dan para bangsawan. Posisi-posisi yang didambakan, seperti wêdono, biasanya dipegang oleh sêntana agêng tergantung atas kemurahan hati raja. Pergantian setiap pejabat kebanyakan terbatas kepada keturunan pemegang jabatan itu sebelumnya setelah melalui magang. Sistem magang merupakan saluran utama untuk posisi birokratis selama raja-raja pribumi, dan sistem magang itu untuk beberapa waktu diambil alih oleh penguasa kolonial. Diperkenalkannya sekolah-sekolah di Madura merupakan tantangan bagi bangsawan, sebab birokrasi kolonial hanya membutuhkan dan mengangkat administrator-administrator yang berdaya guna. Untuk mempertahankan posisi pemimpin dan para bangsawan, Belanda mendirikan sekolah khusus kejuruan pada tahun 1879 untuk melatih pemimpin-penumpin pribumi. Lokasi sekolah yang paling dekat dari Madura berada di Probolinggo. Pegawai pegawai sipil dalam birokrasi baru kolonial direkrut dan mereka yang sudah mendapat latihan di sekolah kejuruan.

Belanda memperhatikan genealogi dalam penyeleksian pegawai-pegawai sipil, sebagian untuk memastikan bahwa kepentingan bangsawan dapat diselamatkan oleh pemerintahan langsung kolonial, dan sebagian untuk kepentingan efektivitas administrasi. Data riwayat hidup seseorang yang diangkat menunjukkan kecenderungan itu. Pengangkatan Raden Ario Condronegoro, misalnya, bendasarkan kelahiran dan jasa-jasanya. Raden Ario Condronegoro dilahirkan tahun 1847, anak Panembahan Pamekasan terakhir, Mangku Adiningrat, dan sewaktu kerajaan itu dihapuskan dia masih muda belia.

Pendidikan formalnya tidak diketahui, tetapi tahun 1862 dialah orang pertama yang diangkat sebagai sekretaris wêdono di Bunder dengan gaji f15 sebulan. Kemudian dia menapaki kariernya sebagai birokrat; pada tahun 1864 dia menjadi mantriaris (kepala subdistrik) di Sampang Tengah (setelah Ronggo Sampang dibentuk) dengan gaji f50, pada tahun 1866 dia diangkat menjadi mantri garam (pengawas produksi garam) di Limbung dengan gaji 150, pada tahun 1877 menjadi mantri garam di Margalena, Sampang, dengan gaji f50 dan pada tahun yang sama diangkat menjadi asisten wedono kelas dua di Pademawu-Barat dengan gaji f65. Pada tahun 1883 diangkat menjadi asisten wêdono kelas satu di Propo, Pamekasan, dengan gaji f100 sebulan dan pada tahun yang sama diangkat menjadi wêdono di Waru, Pamekasan, dengan gaji 1200. Pada tahun 1887 dia diangkat menjadi patih di Pamekasan, dalam umur yang relatif masih muda, 40 tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.