Hukuman mati telah dilakukan pada pagi hari tatkala orang berbondong-bondong menuju ke paséban untuk menyaksikan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mengerikan. Orang-orang mendengar musik perang mengiringi langkah-langkah pasukan tentara, dan melihat unit pasukan infanteri dan Jayeng Sekar dengan pedang terhunus berbaris menuju penjara. Dua orang raden, berpakaian putih, melangkah menuju andong kematian yang digiring oleh unit Jayeng Sekar dengan pedang terhunus, dikawal oleh pasukan dengan bayonet terpasang, bergerak lambat-lambat menuju tempat eksekusi. Di situ, hukuman mati dibacakan dengan suara keras, sementara itu unit infanteri telah siap melakukan tugasnya …. Dalam suasana sepi dan tegang, serentak para penembak jitu melakukan tugasnya.’
Hukuman mati itu tidak mengurangi rasa takut penduduk Eropa. Residen Madura lebih menganggap pembunuhan itu sebagai konspirasi bangsawan dibanding sebagai satu fanatisme keagamaan, dan ia mencurigai peranan Bupati Pamekasan. Bupati Pangeran Sosrowinoto, menurut laporan tak mau bekerja sama selama pemeriksaan, berdasarkan alasan itu residen menuduhnya sebagai pendukung komplotan pembunuh yang mencoba menutupi tindak kriminal. Gubernur jenderal, bagaimanapun, membantah pemyataan tanpa bukti itu dan memerintahk an kepada bupati untuk tetap tinggal di Bogor untuk Sem entara waktu, dan diizinkan kembali lagi ke posnya di Pamekasan.
Tidak adanya kerusuhan lam yang terjadi pada dua dasawarsa berikutnya memberi kesan bahwa kekhawatiran-kekhawatiran adanya pemberontakan bangsawan dari fanatisme agama tak beralasan. Sebagaimana telah diperbincangkan, sejak awal memang tak ada alasan mengap a bangsawan melakukan pemberontakan, sebab para sêntana dan para man tn mendapat tunjangan pensiun seu mur hidup sebagai ganti dan hilangnya kedudukanmer eka. Namun demikian, Belanda meramalkan adanya kemungkinan konspirasi tatkala kerajaan-kerajaan Sumenep dan Bangkalan dthapuskan, khususnya di Bangkalan kar ena beberapa anggota bangsawan Bangkalan berselisih penda pat manakala Pangeran Sunionegoro diangkat sebagai Bupati Bangkalan.
Konspirasi di Bangkalan yang terjadi pada tahun 1883 dipercayai didalangi oleh Raden ArioSurio Adiningrat; bangsawan berumur 56 tahun yang tidak mempunyai jabatan, cucu dan panembahan yang meninggal dunia tahun 1847 dan kemenakan calon bupati, Pangeran Surionegoro. Kesejahteraan Raden ArioSunio Adiningrat cukup layak. Dia menerima uang pensiun setiap tahun f3.520, sedangkan dua anaknya sudah bekeija: Raden ArioSujono Adisurio seorang kapten barisan dan Raden ArioSuryengalogo, men ikahi saudara perempuan panembahan yang barn saja meninggal dunia, telah dipecat dengan hormat dan kedud ukannya sebagai Wêdono Bangkalan.