Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah umum Madura belum banyak dlilakukan orang (Zainalfattah 1951, Abdurachman 1971, Rifai 1993), namun berdasarkan ekstrapolasi data dan informasi yang ada dapatlah direkonstruksi suatu lintasan masa lampau Madura yang dimulai sekitar 4000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalannya yang ditemukan di pulau tersebut menunjukkan bahwa leluhur orang Madura itu datang dari utara dan diketahui berkebudayaan neolitik.
Dengan demikian mereka telah mampu mengupam atau mengasah batu menjadi kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul. Penguasaan teknologi membuat pacul ini mengisyaratkan bahwa mereka telah mampu bercocok tanam, walaupun jenis tanamannya hanya terbatas pada talas, ubi, gadung dan pisang, serta mungkin jawawut. Diketahui pula bahwa mereka mampu berternak dan memelihara anjing untuk keperluan berburu. Karena datang dengan mengarungi lautan terbuka, mereka tentu merupakan bangsa pelaut sehingga di tempat huniannya yang baru mereka tentu terus giat mencari ikan dan hidup sebagai nelayan di laut. Mereka menguasai teknologi pembuatan gerabah dan tanah liat untuk keperluan memasak makanannya.
Semua ini menyiratkan bahwa mereka hidup menetap dalam tempat-tempat tinggal primitif secara berkelompok dan bermasyarakat. Perasaan kekeluargaan mereka akrab, sehingga orang seketurunan atau hidup bersama se daerah selalu bekerja sama dan saling tolong-menolong. Lambat laun hidup bermasyarakat mereka semakin terorganisasi, sehingga akan ada anggotanya yang dituakan sebagai pemimpin, dan ada pula yang dipercayai untuk memelihara kesehatan jasmani dan rohani mereka sebagai dukun. Penghormatan pada orang yang dituakan mi kemudian menumbuhkan kultus pemujaan pada roh leluhur.
Hampir Semua penguasa kerajaan-kerajaan kecil Sumenep, Pamekasan, Jamburingin, Blega, dan Kota Anyar gugur melawan serangan penaklukan Sultan Agung, kecuali Adipati Sampang yang membelot dan Iangsung menyerahkan diri. Ia kemudian dijadikan penguasa baru Madura barat, namun secara halus disandera serta diharuskan terus tinggal di ibu kota Mataram dengan jalan dikawinkan pada adik Sultan Agung, dan kemudian secara anumerta dihadiahi gelar Cakraningrat I. > SAYA KIRA INI BUTUH KOREKSI BUAT PENULIS !! secara logika bagai mana R.praseno menjadi adipati sampang dimana pada saat itu dia masih anak-anak sementara bagaimana dia membelot karena waktu itu dia masih usia anak … saya kira penggunaan kata membelot tidak pas digunakan pada kalimat ini …. mudah2an ada revisi lebih lanjut dari penulis, terima kasih
Terima kasih koreksinya, mudah-mudahan komentar anda dibaca oleh penulisnya