Sejarah Masuknya Islam di Madura

Masjid Agung Sumenep, tampak dari depan

Selayang Pandang

Madura, pulau yang mempunyai sejarah ke- islamannya yang panjang. Hal ini tercermin dari budaya dan keseniannya dengan pengaruh Islamnya yang kuat. Sejak tahun 1000 sampai 1500 M, Madura berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Hindu- Jawa. Sesudah tahun 1500 penguasa Madura memelihara hubungan dengan negara-negara pesisir Islam yang makmur di Pantai Utara Jawa. Sekitar tahun 1600 Pulau Madura terdiri dari lima kadipaten54.

Seperti halnya di Pulau Jawa, Islamisasi di Madura berjalan sukses. Bahkan sering orang Madura mengatakan bahwa Madura Islam 100%, tak seorang pun penduduk Madura yang bukan Muslim. Kalau pun ada yang bukan Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang baru.

Namun bagaimana proses Islam masuk ke Madura adalah seperti halnya proses Islamisasi di Nusantara. Sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak terdokumentasi dengan baik. Mitos dan legenda banyak mewarnai kisah- kisah seputar Islamisasi penduduk pulau garam ini.

Beberapa kajian akademis yang hadir belakangan terlalu banyak yang mengangkat Madura dari segi budaya saja, sehingga terkesan melupakan peran tokoh-tokoh ulama- ulama yang membawanya. Sebelum Islam masuk ke Madura, para penguasa di Madura adalah keturunan Majapahit.

Mereka menganut agama seperti para pembesar Majapahit yaitu Agama Hindu-Siwa dan Budha. Terbukti dari beberapa arca siwa, Dhayani Budha, Ganesha dan Bhirawa yang ditemukan di Bangkalan serta corak arsitektur di makam raja, seperti di Makam Agung.

Menjelang keruntuhan Majapahit, abad 15, sudah banyak masyarakat yang menganut Islam. Bahkan istri raja, para pangeran dan keturunannya juga ada beberapa yang sudah menjadi muslim. Sampai akhirnya berdiri kerajaan Demak, Pajang sampai Mataram, sebagian besar rakyat dan para penguasa di Jawa dan Madura sudah beragama Islam.

Namun menurut sumber dari Belanda, Islam masuk ke Madura sejak abad 12, berbarengan dengan masuknya Islam di Jawa. Dibuktikan dengan makam Siti Fatimah binti Maimun di Gresik. Dimana Gresik, Tuban dan Kalianget pada waktu itu adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagng mancanegara.

Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek islamisasi Nusantara yang sangat massif di antara abad 7 hingga abad 15 melalui tangan-tangan ikhlas para Wali Songo.

Namun demikian, sepertinya perlu kerja keras untuk membangun sejarah islamisasi Madura agar tersusun secara utuh. Hal ini karena fakta telah berbaur dengan legenda. Oleh karenanya, bukan suatu yang mudah untuk menjelaskan proses islamisasi Madura.

Setidaknya, ada tiga jalur islamisasi Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur perdagangan, jalur kerajaan dan jalur para juru dakwah (wali) ataupun kiai. Peran ketiga jalur Islamisasi di Madura ini tidak bisa diremehkan.

Peran Para Pedagang Muslim

Sebelum kedatangan wali songo, wilayah Nusantara sudah banyak didatangi oleh para pedagang dari mancanegara. Tanah yang subur serta kekayaan sumber daya alamnya, menarik minat pedagang-pedagang dari Tiongkok, Gujarat dan Eropa berbondong-bondong untuk bersaing menguasai perdagangan di pelabuhan- pelabuhan besar Nusantara. Seperti Malaka, Sriwijaya, Banten, dan Gresik.

Untuk itu sebagian pedagang ada yang menetap di pesisir pantai dan menikah dengan penduduk se- tempat. Sebagian lagi bekerjasama, atau menaklukkan penguasa lokal, seperti yang dilakukan oleh Portugis di Indonesia Timur dan VOC di pulau Jawa.

Sedangkan di Madura sendiri, pelabuhan yang ramai adalah pelabuhan Arosbaya dan Kalianget. Menurut Abdurachman dalam Sejarah Madura, Selayang Pandang, para pedagang Gujarat sudah ada yang berdagang di Pelabuhan Kalianget dan menyebarkan Islam di sana.55

Peran Para Wali, Buju’ dan Kiai

Para wali atau sunan penyebar agama Islam dikenal dengan nama wali songo. Wali songo adalah sebutan  bagi penyebar agama Islam di pulau Jawa. Wali songo merupakan sekelompok juru dakwah yang berjumlah sembilan orang dan selalu berganti-ganti apabila salah satu dari mereka wafat.

Diantara nama-nama anggota wali songo yang mashur adalah, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Jumlah juru dakwah di pulau Jawa dan Madura, selain wali songo tersebut sangat banyak.

Seperti Sunan Padusan, Sunan Bayat, Syech Abdul Muhyi Pamijahan, Sunan Ngudung, dan sebagainya. Namun mereka tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan wali songo. Ada yang merupakan muridnya, ada yang masih kerabat, ada yang orang tuanya dan seterusnya.

Proses masuknya Islam di Madura tidak bisa dilepas- kan dari peranan wali songo. Sunan Ampel yang ber- kedudukan di Ampel Denta dan Sunan Giri di Giri Kedathon Gresik, mengirimkan murid-muridnya untuk berdakwah ke Madura. Juru dakwah di Madura sering dikaitkan dengan salah satu diantara wali songo.

Seperti Pangeran Katandur (Kandhuruan) ia diyakini sebagai keturunan Sunan Kudus. Sunan Padusan anak dari Usman Haji, keponakan Sunan Ampel. Beliau ini yang mengislamkan Jokotole, Raja Sumenep. Kalau yang dimaksud Usman Haji ayah adalah Sunan Kudus berarti Sunan Padusan saudara dari Sunan Kudus.

Di Madura yang populer di masyarakat adalah para Buju’ (bujuk). Di Kabupaten Bangkalan ada Buju’ Banyu Sangkah (Sayyid Husein), Buju’ Bire (Abdul Rochim). Sedang di Batu Ampar ada Buju’ Kosambih (Abdul Manan), Buju’ Latthong (Syekh Abu Syamsuddin), Batu Ampar.

Para Penguasa Kerajaan

Jalur ketiga adalah peranan kerajaan, yang meng- gambarkan bahwa islamisasi Madura melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Berdasarkan teori yang berkembang, apabila raja-rajanya Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.

Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319 hingga 1331 M. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Panembahan Mandaraka yang juga diyakini beragama Islam. Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga, Keles, Ambunten.

Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja ber- tahta di Bukabu dari 1339-1348 M dan Pangeran Nata- ningrat yang menggantikan kakaknya dengan Keraton Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah 1358-1366 M dengan keraton di Banasare.

Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah 1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar Sekadiningrat III.

Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian keislaman penguasa-penguasa Sumenep di atas, karena minimnya bukti empiris yang mendukung. Ditambah lagi, ada yang mengatakan, Jokotole atau Aria Kuda- panole yang berkuasa sejak tahun 1415-1460 M baru masuk Islam kemudian melalui juru dakwah yang dikenal dengan Sunan Padusan.

Nama Asli sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada anak dari Usman Haji Sunan Manyuram Mandalika, penyebar agama Islam di Lombok. Sunan Padusan kemudian di- ambil menantu oleh Jokotole. Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468-1478 M telah memeluk Islam.

Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati di- karunia putra bernama Raden Ario Lembu Peteng. Ario Lembu Peteng kemudian menjadi kamituwo di Madegan Sampang. Sementara legenda lain menyebut putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra yaitu Raden Ario Menak Senoyo.

Ario Menak Senoyo ini kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal).

Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel. Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel.

Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut. Lembu Peteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi.

Di Pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggo- sukowati muda ini sudah muslim.

Dialah yang kemudian menggantikan ayahnya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian.

Konon Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Ber- sama muballigh itulah Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan.

(Samsul Ma’arif, The Hostory of Madura)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.