Posisi Bangsawan Madura Era Penjajahan Belanda

Penguasa kolonial juga percaya bahwa Pangeran Mangku Adinegoro, saudar a calon bupati, anak panembahan yang meninggal tahun 1847, yang menerima uang pensiun f6.191 tetapi tidak mempunyai kedudukan karena tidak dapat membaca dan menulis—bahkan huruf Jawa—ikut pula terlibat. Orang lain yang dicurigai adalah Raden Arlo Ronokusumo, anak dan panembahan yang meninggal dunia tahun 1862, jadi masth saudara panembahan yang baru-baru mi meningg al, dan ia digambarkan sebagai laki-laki yang “amoral, dan diperbudak judi”.

Raden yang terakhir itu masih fam iii dekat dengan Raden ArioSunio Adiningrat karena Seo rang saudara perempuannya menikah dengan Raden ArioSunio Adiningrat, sedangkan saudara perempuannya yang lain menikah dengan Raden ArioSujono AdisurioKonspirasi itu ditujukan kepada pejabat-pejabat pribumi dalam administrasi baru kolonial dan juga penguas a Belanda. Peristiwanya diawali dengan pembuatan sur at-surat dan kartu-kartu oleh orang-orang itu dan dijat uhkan dengan alamat kepada residen, asisten residen, calon bupati, dan ratu (janda panembahan terakhir). Keteg angan di lingkungan bangsawan sudah tercium oleh pen guasa dan secara langsung menaruh kecurigaan kepada Raden ArioSurio Adiningrat, yang pemah ditolak penga ngkatannya menjadi Bupati Bangkalan. Dia juga dicatat sebagai penentang penguasa kolonial, karena dia mengab aikan undangan untuk menghadiri upacara periyambuta n kedatangan asisten residen baru di Bangkalan, d’Engelb ronner. Ditambahkan pula, dia tidak mau menyambut Idul Fitri di rumah calon pangeran bupati.

Sementara itu, anaknya, Raden ArioSuryengalogo, yang berumur 38 tahun dan mantan wêdono, telah dicatat sebagai penyebar desas-desus di majalah berkala berbahas a Melayu, Pemberita Baroe, tanggal 6 September 1882, dan di terbitan berkala Belanda Het Indisch Vaderland pada tanggal 23 Juni dan tanggal 3 Juli 1883, dengan mengangg ap bahwa dirinyalah yang akan diangkat menjadi Bupati Bangkalan. Ditambahkan pula, dia berselisih dengan ibu mertuanya, yakni Sang Ratu, sejak perkawinannya den gan anak perempuannya, hanya karena masalah sepele. Dia melarang orang-orang di désa apanage-nya yang memp unyai petemakan tiram menyerahkan tiram itu ke istana. Malahan, dia menyuruh mengirimkan tiram itu ke istrin ya untuk dibuat hidangan kesukaannya. Anaknya yang lain, Raden Sujono Adisurio, dicurigai karena surat-surat yang dibuat itu menggunakan logat bahasa yang biasa dig unakan oleh anggota-anggota barisan, seperti hip-hip hoer a, loesir (lageren, rakyat jelata), djaloes (jaloersch, in hati), dan ouzok (oude sok, kaos kaki butut).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.