Catatan dari Kongres Kebudayaan Madura
Oleh: Alex Marten
Upaya orang-orang Madura menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur melekat di benak banyak orang, seperti berjuang dalam sepi karena rendahnya dukungan masyarakat pendukungnya.
Suatu senja jelang pertengahan Maret 2007 di kota Sumenep, Madura. Tanah lapang berlapis rumput nan hijau yang cukup terrawat di halaman Hotel Utami basah kuyup. Genangan air hujan masih membekas. Sepasang penari berparas cantik berarak menuju panggung dengan kaki berjinjit. Tungkal mulus para penari kecipratan lumpur. Namun, mereka harus melupakannya karena hentakan musik sronen dari grup Kabut Hitam asal Pamekasan langsung mengajak mereka membawakan Ul Daul.
Tarian tersebut sekaligus menjadi pembuka Kongres Kebudayaan Madura (KKM) pertama yang berlangsung di kota Sumenep, 09-11 Maret 2007 lalu.
Kebudayaan Madura, sebagaimana kebudayaan masyarakat lainnya di Indonesia, unik. Kongres ini menampilkan beragam kekayaan kultural masyarakat Madura dari empat kabupaten, yaitu Sampang, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Mien A. Rifai mencatat beragam kekhasan kultural mau pun karakteristik manusia Madura. Etnis Madura, kata ilmuwan LIPI ini, termasuk suku bangsa yang tahan banting.
Mereka mampu beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan. Orang-orang Madura dikenal ulet. Riset majalah Tempo pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di Indonesia.