Mungkin karena kuatnya pencitraan negatif tersebut, sebagian orang-orang Madura di perantauan, terutama kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura.
Kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat dewasa ini. Tantangan paling utama adalah bagaimana menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur lengket di benak banyak orang tentang masyarakat Madura yang keras.
Huub de Jonge menyarankan anak-anak kandung Madura sendiri yang memprakarsainya. “Masyarakat Madura seharusnya jangan menanamkan pada diri sendiri sebagai orang keras. Kalau mereka menganggap dirinya keras, orang-orang lain akan melihatnya dan mempercayainya. Sama seperti orang yang setiap hari merasa dirinya bodoh, orang lain pun akan menilainya bodoh. Orang Madura harus berhenti menganggap dirinya orang keras.”
Tentu ada orang Madura yang kasar dan keras. Orang seperti itu ada di mana-mana. Mereka tidak mengenal suku, etnis, dan agama. Di sisi lain, penyair Zawawi Imron dan Said Abdullah mengingatkan bahaya dari derasnya arus globalisasi terhadap eksistensi kebudayaan Madura. Bayangkan, dari sekitar 13,5 juta warga Madura saat ini, hanya 3 juta yang tinggal di pulau garam ini, selebihnya mengadu nasib ditanah rantau. (*)
Sumber: Surabaya Post, 18/03/07