Membangun Sukma Madura

Sejak itu, orang Madura dan pisau adalah satu, mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda 1922. Jika orang Madura dipermmalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.

Meskipun sulit dibantah bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Madura masa lalu, Edhi Setiawan – salah seorang pemakalah dalam kongres kebudayaan yang disponsori Said Abdullah Institute ini – menampik jika masyarakat Madura diidentikkan dengan kekerasan. Sepanjang perjalanan sejarah suku Madura, kata dia, amat sulit ditemui data-data mengenai tindakan-tidakan seperti perkelahian antar desa/kampung, kekerasan berbau SARA, dan sebagainya terjadi di Madura. Jenis pekerjaan seperti mengkondisikan mereka mengkondisikan mereka bersikap tegas, berani, dan terkadang berlaku kasar agar tetap eksis. Dalam kasus-kasus tertentu, temperamen orang-orang Madura yang ‘serba keras’ itu dimanfatkan segelintir orang untuk menekan lawan (premanisme) dalam menyelesaikan masalah.

Kajian yang Jarang

Sayangnya, lanjut Edhi Setiawan, amat jarang kajian akademis mengenai masyarakat Madura di tempat leluhurnya dibandingkan penelitian tentang orang Madura di seberang lautan. Persoalan serupa diakui Dr Huub de Jonge, seorang peneliti Madura dari Universitas Nijmegen (Belanda). Kajian tentang orang-orang Madura di perantauan lebih banyak terkait dengan kekerasan. Padahal di pulau Madura sendiri terdapat hal positif, baik tata nilai, agama, maupun karya-karya seni seperti seni tari, ukiran, musik dan sebagainya. Bahkan, mengutip seorang peneliti luar, Mien A. Rifai mengatakan Madura bukan pulau melainkan benua. Madura memang kecil, tetapi unsur-unsur kebudayaannya sangat kaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.