Dalam lembaran sejarah Sumenep, ada salah satu penguasa yang memiliki kisah pilu sekaligus berujung tragis. Kisah seorang penguasa atau raja yang harus berperang karena menolak pinangan seorang ratu dari negeri seberang. Digempur oleh banyak pasukan gabungan, hingga sang pangeran gugur dalam medan pertempuran membela harga diri dan Negeri Songenep.
Meski gugur secara kesatria, pangeran tersebut harus kehilangan kepalanya, karena dipenggal dan dihaturkan kepada sang ratu yang menginginkan dirinya atau hendak meminangnya. Tubuh tanpa kepala penguasa Sumenep yang pemberani itu pun dimakamkan, orang Sumenep menyebutnya dengan Asta Pangeran Siding Puri atau Sedo ing Puri artinya Pangeran yang meninggal di Desa Pore.
Asal usul Raden Wanabaya alias Pangeran Siding Puri
Raden Aria Wanabaya, begitulah sebutan Penguasa Sumenep di abad ke-16 Masehi tersebut. Beliau merupakan raja atau rato yang berkuasa setelah Raden Aria Wigananda ibn sang legendaris Jokotole.
Dalam Babab Sumenep, Raden Aria Wanabaya dikenal dengan sebutan Pangeran Sumenep, yang berarti pangeran dari Negeri Sumenep. Beliau adalah salah satu putra dari Aria Banyak Modang dengan putri Raden Aria Wigananda. Pangeran Sumenep tersebut merupakan cucu dari Aria Banyak Wedi alias Agus Wedi.
“Aria Banyak Modang merupakan salah satu putra dari Agus Wedi, sosok saudara kandung Jokotole yang menjabat sebagai adipati Gresik. Maka tak heran, jika pada masa pemerintahan Aria Wigananda (1460-1502 Masehi), Aria Banyak Modang diangkat sebagai patih Sumenep. Sebab, secara garis nasab, mereka masih tergolong famili atau masih memiliki kekerabatan,” terang R.B. Nurul Hidayat salah satu pemerhati sejarah Sumenep.
Raden Aria Wanabaya diambil sebagai menantu oleh Aria Wigananda, Penguasa Sumenep yang berkedudukan di Desa Gapura, Sumenep. Karena sang raja tidak memiliki anak laki-laki, maka Raden Aria Wanabaya ditabalkan sebagai calon raja atau adipati pasca Raden Aria Wigananda.
Setelah mangkatnya Raden Aria Wigananda, maka pada 1502 Masehi, Raden Aria Wanabaya dinobatkan sebagai raja Sumenep, dengan gelar Pangeran Secodiningrat III. Keraton yang semula berada di Desa Gapura, kemudian dipindah ke Desa Parsanga, Kecamatan Kota, Sumenep, pada masa sang Pangeran.
Pinangan Ratu Japan terhadap Pangeran Sumenep
Semenjak dahulu, Madura dan Jawa berada di bawah naungan kerajaan Majapahit. Hingga pasca runtuhnya Majapahit, Madura dan Jawa masih berjaya di bawah bendera penguasa anak keturunan raja Majapahit.
Daerah Madura sejak masa Majapahit diberikan kepada Ratu Retna Dewi Maskumambang, salah satu putri Brawijaya V alias Prabu Kertabumi, yang dinobatkan sebagai ratu di Japan (Mojokerto). Retna Dewi Maskumambang diberi kuasa atas wilayah timur dan utara. Di dalamnya termasuk Pulau Madura.
“Raden Aria Wanabaya alias Pangeran Secodiningrat III sebagai adipati Sumenep antara tahun 1502 sampai 1559 Masehi. Maka, sesuai tradisi, sang Pangeran diwajibkan menghadap ke Japan, yakni Ratu Retna Dewi Maskumambang guna melaporkan perjalanan roda pemerintahan negeri Sumenep,” terang Nurul Hidayat.
Menurut kisah Babad Sumenep, Ratu Retna Dewi Maskumambang saat itu masih membujang. Sedangkan Pangeran Sumenep dikenal tampan rupawan bagaikan bulan purnama atau sang wisnu yang baru turun dari kayangan. Sehingga, saat Pangeran Sumenep menghadap ke Japan, sang Ratu mabuk kepayang dan jatuh cinta kepada sang Pangeran, dan menyatakan akan meminangnya.
Singkat cerita, sepucuk surat pun datang ke Negeri Sumenep. Ratu Dewi Maskumbang pun secara resmi melamar Penguasa Sumenep yang tampan rupawan itu, dan mengharap sang Pangeran menerima cintanya dan menghadap ke keraton Japan.
Waktu pun berlalu, bayang-bayang asrama pun menghantui hati sang Pangeran. Namun, karena Pangeran Sumenep sudah memiliki istri dan tiga anak, ia pun menolak pinangan tersebut sehingga membuat cinta Ratu Japan bertepuk sebelah tangan.
Karena merasa cintanya ditolak, Ratu Japan pun murka. Ia pun mengutus keponakannya, Raden Tumenggung Kanduruan, salah satu putra Raden Fatah yang menjadi patih kerajaan Japan. Tujuannnya hanya satu, yakni membawa Pangeran Sumenep hidup-hidup untuk diadili, karena telah menolak pinangannya.
Perang Sumenep Melawan Japan
Akibat dari cintanya yang ditolak Pangeran Sumenep, Ratu Japan pun mengutus patihnya, yakni Raden Aria Kanduruan bersama bala tentara prajurit untuk berperang. Sang Patih pun gelisah, pasalnya, Pangeran Sumenep dikenal sebagai adipati yang arif dan santun, sehingga tak layak diperangi. Namun, sebagai negarawan, Kanduruan terpaksa melaksanakan tugasnya.
Patih Kanduruan yang memang tidak mempersiapkan pasukan cukup banyak, namun akhirnya mengumpulkan pasukan penguasa di Madura Barat. Seperti Pangeran Malaja, Pangeran Jambaringan, Kiai Demang Sasmita, dan Pangeran Blega. Mereka bersama pasukannya ikut serta dalam gabungan pasukan besar (Japan-Madura) bergerak ke timur untuk menangkap Pangeran Sumenep yang tengah menyatakan perang.
Perang pun pecah di Sumenep, tepatnya di Desa Pore, sekarang masuk Kecamatan Lenteng, Sumenep. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1559 Masehi. Perang yang tak seimbang membuat pasukan Sumenep menderita kekalahan. Meski sebelumnya sempat membuat lawan kalang kabut. Pangeran Sumenep yang luka parah akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Pangeran Sumenep, gugur secara kesatria, dan mendapat gelar secara anumerta, dengan sebutan Pangeran Seda ing Puri atau Siding Puri. Yang artinya Pangeran yang meninggal di Puri (Desa Pore Kecamatan Lenteng),” terang Nurul Hidayat.
Setelah Pangeran Sumenep diyatakan gugur, maka sebagai tanda laporan, kepala sang Pangeran dipotong oleh Kiai Demang Sasmita untuk dibawa ke Japan. Kepala Pangeran Sumenep dimasukkan ke dalam peti emas, dibungkus kain sutera berwarna kuning, kemudian dihaturkan kepada pimpinan perang, yakni Patih Tumenggung Kanduruan.
“Mendengar berita duka tersebut, permaisuri Pangeran Sumenep pun jatuh pingsan. Ia tak kuasa menahan isak tangis anak-anaknya yang tengah ditinggal oleh ayahandanya. Sementara, jenazah yang tanpa kepala dibawa ke keraton Sumenep untuk dimakamkan di kompleks Asta Sunan Paddusan yang terletak di Desa Bangkal, Kecamatan Kota, Sumenep,” pungkas Nurul Hidayat.
(Tulisan ini telah di mamira.id, dengan link sumber: https://mamira.id/cinta-ditolak-perang-tak-terelak-kisah-gugurnya-pangeran-siding-puri/)