Sekilas, Lintasan Masa Lampau Madura

Karena korupsi dan kesalahan para pegawainya, VOC dililit hutang besar sehingga menjadi pailit dan terpaksa dibubarkan pada akhir tahun 1799. Oleh karena itu seluruh Madura kemudian tidak lagi merupakan milik sebuah kompeni dagang tetapi menjadi jajahan negara kolonial Belanda. Sekalipun demikian, Belanda terus memberlakukan kebijakan berbeda terhadap penguasa pribumi Madura dibandingkan dengan bupati daerah taklukan lainnya di nusantara. Mereka tidak dianggap sebagai bawahan biasa tetapi merupakan panembahan atau bupati yang dirajakan sehingga diperlakukan sebagai sekutu medeka yang benswapraja penuh serta terkadang dibiarkan bergelar sultan. Dalam proses pengangkatannya, para penguasa Sumenep dan Pamekasan harus menandatangani kontrak ikatan politik (‘acie van verbani), dan mereka dilantik oleh perwakilan Belanda setempat. Adapun penguasa Bangkalan hanya diminta mengikrarkan janji setia dengan menandatangani ketentuan dan persyaratan (‘conditien en voonvaarden’) yang sifatnya lebih lunak, sedangkan pengukuhannya dilakukan sendiri oleh Gubernur Jenderal Belanda.

Akan tetapi mereka semua diharuskan menyerahkan secara Cuma-cunma upeti Ccont1ten’) berupa hasil bumi dan kerja rodi dari rakyat, dan diwajibkan memasok (‘verplichte leveranties’) dengan harga murah komoditas perdagangan hasil bumi. Selanjutnya semua daerah dituntut untuk naengerahkan laskar untuk keperluan peperangan Belanda melakukan petualangan politik divide ci impera di nusantara. Sejak  tahun 1831 laskar-laskar itu dimapankan menjadi Korps Barisan Madura, dan mereka berjasa besar bagi Belanda dalam rnemecangi bangsanya sendiri di Jambi 1833, Minangkabau 1836, Bali 1844, Aceh 1873 Lornbok 1894, dan tempat-tempat lainnya sampai ke abad XX.

Periode sejarah yang sering disebut masa képanembahan ini ternyata sangat menyusahkan rakyat yang diperas habis-habisan oleh beban pajak berlipat ganda. Rakyat kecil memang diharuskan memenuhi semua tuntutan upeti Belanda, serta berkewajiban pulä mendukung kehidupan feodalisme penguasa pribuminya sendiri. Sekalipun sistem tanam paksa (‘culaiurstelsd) tidak diterapkan secara ketat, kerendahan daya dukung bumi Madura menyebabkan rakyat hidup sengsara. Kelakuan buruk kaum bangsawan yang condong hidup boros bermewah-mewah menyebabkan penderitaan rakyat semakin tak tertanggungkan oleh bermacam ragamnya pungutan. Misalnya ada desa yang diharuskan mencukupi keperluan kayu bakar raja dan bangsawan lain kerabatnya, desa lain diwajibkan memasok minyak kelapa, desa satunya lagi kebagian menyediakan rumput untuk kuda kerajaan dan kereta pos, dan semuanya masih sering ditugaskan bekerja rodi tanpa bayaran. Akibatnya, pemerintahan swapraja yang penuh oleh penguasa pribumi itu lalu dihapuskan dan daerah-daerah Madura diperintah langsung oleh Belanda, mula-mula di Pamekasan pada tahun 1858, lalu Sumenep tahun 1883, dan kemudian Bangkalan pada tahun 1885.

Responses (2)

  1. Hampir Semua penguasa kerajaan-kerajaan kecil Sumenep, Pamekasan, Jamburingin, Blega, dan Kota Anyar gugur melawan serangan penaklukan Sultan Agung, kecuali Adipati Sampang yang membelot dan Iangsung menyerahkan diri. Ia kemudian dijadikan penguasa baru Madura barat, namun secara halus disandera serta diharuskan terus tinggal di ibu kota Mataram dengan jalan dikawinkan pada adik Sultan Agung, dan kemudian secara anumerta dihadiahi gelar Cakraningrat I. > SAYA KIRA INI BUTUH KOREKSI BUAT PENULIS !! secara logika bagai mana R.praseno menjadi adipati sampang dimana pada saat itu dia masih anak-anak sementara bagaimana dia membelot karena waktu itu dia masih usia anak … saya kira penggunaan kata membelot tidak pas digunakan pada kalimat ini …. mudah2an ada revisi lebih lanjut dari penulis, terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.