Sekilas, Lintasan Masa Lampau Madura

Seirama dengan perkembangan peradaban yang dialami suku-suku bangsa lain di nusantara, kemudian mereka memasuki zaman perundagian yang ditandai oleh kemampuan mengolah bijih logam. Sejalan dengan itu teknologi bercocok tanam dan berternak meningkat karena didukung oleh penguasaan pengetahuan perbintangan, yang tentu juga digunakan untuk keperluan navigasi di laut lepas. Kehidupan mereka semakin nyaman sehingga sesudah belasan abad mereka beranak-pinak dan tersebar di seluruh pulau Madura serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kesadaran mereka akan ketergantungan pada alam dan lingkungan kemudian menumbuhkan kepercayaan animisme. Kepercayaan akan adanya hubungan antara yang mati dan yang hidup membuat mereka mendirikan bangunan megalitik sebagai wahana penampung arwah leluhur yang dihormati, seperti tersaksikan sisa-sisanya dalam bentuk menhir dan bato eggbiing (batu gong) atau halo kennong (batu kennong) —yang terdapat di Pulau Sepudi (Bustami 1996: 324).

Kedatangan orang India (dan kemudian Cina) di abada bad awal tarikh Masehi menggalakkan perkembangan orang Madura untuk menjadi pedagang perantara, karena pulau Madura tidak memiliki sumber daya alam untuk diperdagangkan. Kedatangan pedagang asing yang membawa budaya dan peradaban lebih canggih ternyata mendukung terjadinya penyuburan perkembangan kebudayaan setempat. Sedikit demi sedikit kepercayaan animisme mereka tergantikan dengan konsep keagamaan yang lebih terstruktur. Proses pengindiaan yang diakibatkan oleh kedatangan pedagang dan penganjur agama dari India tadi menyebabkan masyarakat dikelompok-kelompokkan dalam kasta berdasarkan keprofesionalannya, sejalan dengan perapian pengorganisasian pemerintahan kehidupan bermasyarakat mereka. Tetapi kerajaan-kerajaan kecil Madura yang terbentuk segera menemukan bahwa dirinya tidak dapat menyaingi kekuasaan kerajaan yang didukung daerah lebih subur dan makmur di Jawa. Oleh karena itu, secara ekonoini dan politik, Madura lalu tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Jawa. Sejak zaman kerajaan Kalingga atau Mataram kuno yang konon beribukota di Medang Kemulan di Jawa Tengah, terus ke Dinasti Isana keturunan Mpu Sindok yang menguasai Jawa Timur pada abad X —XII, kerajaan-kerajaan di Madura itu hanya menjadi daerah taklukan atau negara bawahan yang tidak begitu berarti.

Bersamaan dengan kejayaan kerajaan Singosari berakhirlah masa pra sejarah Madura, karena mulai zaman itu terdapat prasasti atau bahan tertulis yang langsung mengacu pada wilayah-wilayah Madura seperti Songennep dan Batuputih. Sekalipun demikian, hingga pudarnya kerajaan Majapahit di abad XVI, daerah-daerah itu tetap merupakan negara bawahan yang tidak masuk hitungan. Daerah Madura mungkin masih diperhatikan hanya karena pasokan garamnya yang diproduksi di tempat seperti Pamadekan (yang berarti tempat pembuatan garam dan sekarang dikenal sebagi desa Madhegghân di Sampang), serta sumbangan tenaga kerja sumber daya manusia untuk perhubungan kemaritiman dan keperluan lainnya.

Kilasan Sejarah memang mencatat peran besar bantuan orang Sumenep pada Dyah Sanggrama Wijaya (yang dalam buku sejarah dan ceritera populer secara salah selalu disebutkan Raden Wijaya walaupun gelar raden baru diciptakan orang di abad XV) saat membuka hutan Tarik yang merupakan cikal bakal ibu kota kerajaan Majapahit yang sedang didirikannya. Bahkan nama Majapahit sendirii konon diberikan oleh seorang pekerja Madura yang kelaparan saat membuka hutan dan menemukan buah maja daerah itu pahit rasanya. Ketika dua abad kemudian pintu gerbang besi keraton Majapahit direnovasi, lagi-lagi pandai besi Sumenep dikerahkan dan mereka baru berhasil menyelesaikannya setelah melibatkan pertolongan tokoh legendaris Madura Joko Tole. Pada waktu yang bersamaan berkiprahlah Arya Lembu Petteng —konon anak gelap raja Wikramawijava (menantu Raja Hayam Wuruk)—di Pamadekan, yang keturunannya kemudian menjadi pemimpin daerah daerah Madura barat.

Responses (2)

  1. Hampir Semua penguasa kerajaan-kerajaan kecil Sumenep, Pamekasan, Jamburingin, Blega, dan Kota Anyar gugur melawan serangan penaklukan Sultan Agung, kecuali Adipati Sampang yang membelot dan Iangsung menyerahkan diri. Ia kemudian dijadikan penguasa baru Madura barat, namun secara halus disandera serta diharuskan terus tinggal di ibu kota Mataram dengan jalan dikawinkan pada adik Sultan Agung, dan kemudian secara anumerta dihadiahi gelar Cakraningrat I. > SAYA KIRA INI BUTUH KOREKSI BUAT PENULIS !! secara logika bagai mana R.praseno menjadi adipati sampang dimana pada saat itu dia masih anak-anak sementara bagaimana dia membelot karena waktu itu dia masih usia anak … saya kira penggunaan kata membelot tidak pas digunakan pada kalimat ini …. mudah2an ada revisi lebih lanjut dari penulis, terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.