Kobhung, Bangunan Tradisional Masyarakat Madura

Senjata-senjata yang telah disebut diatas, tidak ada yang mengungguli pedoman berperilaku yang akan disebut dibawah ini:

Tiga perkara yang harus dijaga: lidah, adat, tingkah laku,
Tiga perkara yang harus dimiliki: hati tulus, hati suci, dan sikap jujur,
Tiga perkara yang harus dibenci: sifat tega, rendah diri, tidak pernah puas,
Tiga perkara yang harus dipelihara (diperhatikan): waktu, uang, dan kesehatan,
Tiga perkara yang harus dihargai: umur, undang-undang negara, agama, )

Pewarisan nilai melalui langgar atau Kobhung tersebut setidaknya mengarah pada sifat dan karakter manusia Madura yang meliputi etika kesopanan, hormat, dan agama.

____________________________________________________________

1)    Terdapat beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat Madura khusunya Pamekasan, antara lain masjid, langgar (surau sebutan Minangkabau, meunasah bagi orang Aceh), mushalla, dan kobung. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kesamaan sekaligus perbedaan-perbedaan dalam fungsinya. Kobung pada dasarnya berfungsi sebagai tempat menerima tamu, berkumpul keluarga, bermusyawarah, tempat tidur pemuda yang belum kawin atau orang tua yang sudah udzur, sekaligus tempat pewaris nilai-nilai (tradisi) luhur Madura. Sementara  langgar merupakan tempat mendidik anak-anak Madura belajar ngaji al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Langgar lebih berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam non formal. Biasanya langgar terdapat di rumah-rumah kiai atau guru ngaji kemudian berkembang menjadi pesantren.
2)    Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm., 15
3)    Istilah tempo dulu merujuk kepada pemahaman masyarakat Madura Konah (Kuno, klasik). Salah satu distingsi antara masyarakat Madura Konah dengan kalangan masyarakat Madura kontemporer (ngodadhan/kawula muda) adalah keterkaitannya kepada tradisi. Kalangan tua memegang erat dan fanatik pada tradisi, sementara kalangan muda –terutama era hasil didikan Orde Baru—kurang memperhatikan atau bahkan abai terhadap tradisi. Periksa Edi Susanto, “Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Lokal Madura”, Karsa Vol. XII, No. 2, Oktober 2007, hlm., 97.
4)    Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional DalamTransisi Dan Modern, (Jakarta: Logos, 2003), hlm., 47
5)    Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1994), hlm., 314
6)    Belum ditemukan catatan tertulis mengenai sejarah langgar (kobung) masa pra Islam, namun pada masa Islam catatan tentang langgar (kobung) banyak diketemukan, di Pamekasan misalnya Langgar Gajam didirikan pada tahun 1680 oleh Kiai Sidik Abdul Halim di kampung Gajam Desa Jamburingin Proppo, lihat Kutwa, Pamekasan Dalam Sejarah(Pamekasan: Pemda Pamekasan, 2004), hlm., 68-69. Sebelumnya telah berdiri pondok pesantren di Pamekasan, –dimungkinkan sebagai pesantren tertua di Pamekasan– adalah pesantren BhareLeke (belum diketahui tahun berdirinya) dan Pesantren Sumber Anyar yang berdiri sekitar tahun 1515, periksa Moh. Kosim, Pondok Pesantrendi Pamekasan Pertumbuhan dan Perkembangan (Pamekasan: P3M STAIN Pamekasan, 2002). Sekalipun sederhana pesantren tersebut dimungkinkan memiliki langgar sebagai sentra kegiatan. Bandingkan dengan Nor Hasan, Pondok Pesantren Sumber Anyar Larangan Tokol TlanakanPamekasan Madura (Studi tentang Pengaruh Pondok TerhadapMasyarakat Sekitarnya (Skripsi) (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1991) Di Pondok Pesantren Sumber Anyar  terdapat satu langgar yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan langghar raja
7)    Istilah Kuntowijoyo Surau, karena di Madura polapemukimannya berbeda dengan di Jawa yang memiliki desa terpusat dengan sawah di sekelilingnya. Sementara di Madura, desa terdiri dari satuan kampong Mejih, yaitu bangunan rumah dalam satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga yang masih saudara (taneyanlanjang). Di luar kampong Mejih itulah masyarakat membangun tegal dan galengan air (somor) sebagai penahan air di musim hujan. Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura(Jogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm., 588-589
8)    Untuk orang Madura tempo dulu memelihara sapi atau kambing merupakan simbol status sosial. Semakin banyak sapi atau kamping yang dipelihara, menunjukkan semakin kaya (oreng sogi) dan status sosial meningkat. Sementara memelihara kambing adalah sebagai itba’ Rasul (?). Hal ini sekaligus merupakan hipotesis bahwa orang Madurasungguh tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keislaman.
9)    Kayu yang digunakan bangunan ini disesuaikan dengan kemampuan si empunya, bisa terbuat dari kayu jati atau kayu yang lain bahkan dari bambu.
10) Zein M. Wiyoprawiro, Arsitektur Tradisional MaduraSumenep (Surabaya: Laboratorium Arsitektur Tradisional FTSP ITS, 1986), hlm., 91.
11) Dikutip dari makalah Edi Setiawan, Menegakkan KembaliCitra Madura Antara Citra, Realita dan Tantangan, makalah disampaikan pada acara Kongres Kebudayaan Madura, Songenep 9-11 Maret 2007.

Judul asli : Kobhung, Bangunan Tradisional Pewaris Nilai  Masyarakat Madura Tempo Dulu, sumber: KARSA, Jurnal Budaya dan Sosial Keislaman, Vol. XIII No. 1 April 2008, http://karsa.stainpamekasan.ac.id

Tulisan bersambung:

  1. Kobhung, Bangunan Tradisional Masyarakat Madura
  2. Nilai Kesopanan dan Kehormatan Bagi Orang Madura
  3. Ungkapan Madura: Abhantal Syahadat, Asapo’ Iman

 

 

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.