Buku “Embi’ Celleng”; Langgam Baru Bahasa Madura

Oleh Royyan Julian

nara-sumber
Nara sumber bedah buku

Menulis karya sastra modern dengan bahasa Madura kerap dianggap riskan. Kecemasan tersebut berangkat dari dugaan bahwa penulis hanya akan menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Madura. Hal itu terjadi karena sejak dini ”sistem berpikir tulis” pengarang dipengaruhi bahasa Indonesia.

Sementara itu, bahasa Madura barangkali tak pernah menyediakan langgam bahasa tulis (sebagaimana bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dsb). Kalaupun ada yang disebut ”sastra Madura” (tulis), itu merupakan sastra lisan yang telah dialihmediakan. Alhasil, karya sastra modern berbahasa Madura dinilai tidak merepresentasikan realitas Madura beserta segala kompleksitasnya, sebab bahasa (parole) menunjukkan pola pikir, pandangan hidup, dan praktik keseharian masyarakat penuturnya.

Haruskah karya sastra seratus persen merepresentasikan realitas? Bukankah realitas dalam karya sastra telah mengalami reduksi? Bukankah karya sastra telah mengalami defamiliarisasi dan deotomatisasi (kalau Anda mengimani tradisi sastra formalisme)? Bahkan seorang kritikus menganggap bahwa realitas dalam karya seni hanyalah realisme ideologi pengarangnya. Cerpen ”Bilis” dan ”Koceng Celleng” karya Toyu Aradana, misalnya. Apakah lantaran memakai figur-figur binatang, lantas kedua cerpen tersebut tidak menggambarkan situasi sosial masyarakatnya?

Jika memang karya sastra (modern) berbahasa Madura tidak sesuai dengan langgam bahasa Madura, bukankah itu justru akan menambah varian bahasa Madura (bahasa Madura dialek tulis, misalnya). Menyambut positif bermunculannya sastra modern Madura sama artinya dengan membuka kemungkinan estetika baru karya sastra modern berbahasa Madura. Estetika tersebut bisa lahir dari persinggungan bahasa Madura dengan pola berpikir bahasa Indonesia.

Membaca buku cerpen Embi’ Celleng Ji Monentar barangkali dapat diteropong dengan perspektif demikian. Terlepas dari semua persoalan di atas, cerpen-cerpen dalam buku ini juga menarik jika dikomparasikan dengan cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang mengangkat lokalitas Madura. Dalam pembacaan sekilas, cerpen-cerpen dalam buku ini mengangkat isu-isu sederhana yang justru membuat realismenya begitu nyaring. Sedangkan dalam cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang bertopik lokalitas, isu-isu yang diangkat sering kali terkesan hiper-realis (berbicara tentang kekerasan secara berlebihan, misalnya) yang malah mempertebal stereotipe orang Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.