Mati Ketawa Ala Madura

Orang Madura dan Polisi (sumber: youtube)
Orang Madura dan Polisi (sumber: youtube)

Zainul Hasan

Pulau Madura dikenal banyak orang karena beberapa hal: penghasil garam terbesar, masyarakat religius dan fanatik agama, ramuan singset Madura serta cerita komedial (humor)-nya. Humor, adalah kisah fiktif lucu pribadi seorang atau beberapa tokoh masyarakat atau anggota suatu kelompok (folk), seperti  suku bangsa, golongan, bangsa, ras tertentu yang menyebabkan orang lain ketawa. Berbeda dengan pengertian ini, humor Madura disamping berarti pertunjukkan ketawa juga bermakna  sebagai usaha saling menasihati terhadap hal-hal yang bersifat kebaikan. 

Oleh karena itu, lebih tepat diakatakan tawashow. Tulisan ini   mengungkap tawashow ala Madura baik di bidang   sosial-budaya, politik maupun dalam mempertahankan   moral sosial dan moral agama   sekaligus upaya identifikasi  jati diri orang Madura

Pendahuluan

Dua hari setelah Gus Dur terpilih menjadi Presiden pada Oktober 1999, majalah The Economic memuat potretnya disamping judul dengan huruf tebal berbunyi: “Astaga, Gus Dur terpilih: Presiden baru Indonesia yang mengejutkan”. Ya, mengejutkan karena tokoh yang sering nyeleneh ini bukan hanya tidak diprediksi oleh kebanyakan orang, tetapi juga dianggap infeasible –bahkan-impossible bagi sebagian orang. Bukan pada tempatnya tulisan ini membahas tentang kiprah dan sosok beliau, tetapi yang ingin disampaikan adalah di tengah situasi dan kondisi psiko-sosiopolitik bangsa Indonesia yang “menegangkan” –dan tentunya dibutuhkan suasana bangsa yang “cair”— hadir seorang tokoh yang ahli dan suka humor.

 Humor, berasal dari bahasa latin (bhs Inggris: humorous) yang berarti cairan. Arti ini pada mulanya dipakai dalam ilmu faal kuno mengenai empat macam cairan, seperti darah, lendir, cair empedu kuning dan cair empedu hitam. Keempat cairan ini dianggap menentukan temperamen seseorang.  Hubungan antara cair dan temperamen inilah kemudian humor diartikan sesuatu yang bersifat dapat menimbulkan atau menyebabkan “temperamen” pendengarnya merasa tergelitik (“cair”) perasaannya dan menjadi lucu (lelucon)  sehingga terdorong untuk ketawa. Tertawa dapat terjadi, karena ada sesuatu yang bersifat menggelitik perasaan karena kejutannya, keanehannya, ketidakmasukakalannya, kebodohannya, sifat pengecohannya, kejanggalannya, kekontradiktifannya, kenakalannya dan lain-lain. Menurut KH Mustofa Bisri, ada korelasi antara kecerdasan dan humor. Orang yang tidak cerdas biasanya tidak bisa menciptakan humor.

Selanjutnya, menurut Danandjaja, salah seorang ahli folklor dan Antropologi Universitas Indonesia, humor dalam ilmu folklor terbagi dua subkategori: yakni lelucon dan anekdot. Perbedaan lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh masyarakat, atau beberapa tokoh masyarakat yang benar-benar-benar ada, maka lelucon menyangkut kisah fiktif lucu dari anggota suatu kelompok (folk), seperti suku bangsa, golongan, bangsa, ras dan lain-lain.

Tradisi humor  bukan sesuatu yang asing di kalangan para sufi. Seringkali si sufi memempatkan dirinya sebagai victim  dari suatu kisah lucu untuk menegaskan inti ajaran  kesufiaanya dan merupakan model penyampaian ajaran menyangkut persoalan-persoalan dunia sublim makrifat yang seringkalai tidak dapat terusung dalam model rasionalitas linear filosofis. Akibatnya sang guru sufi terkadang terlihat sebagai pribadi yang konyol dan di sinilah awal kemuncy-ulan term jadzab atau khilaf seperti yang luas dikenal di dunia pesantren.   Cerita-cerita lucu dan penuh hikmah seputar diri Abu Nawas ataupun Nasrudin Khoja dapat dipandang dengan frame ini. Cerita-cerita ini tersebar di seluruh dunia Islam dan bahkan sebagian Italia dan Perancis ,  melalui tradisi lisan dan bertahan sampai sekarang. Mayarakat madura yang kental tradisi kepesantrenannya dapat diindikasikan mewarisi kecerdasan humornya dari tradisi pajang dunia sufi yang memasuki pojokpojok pesantren Nusantara.

Bangsa Madura dengan beberapa pulaunya, memiliki banyak ciri khas yang melekat dan jarang dimiliki oleh bangsa lain; mulai dari penghasil garam terbesar, masyarakat religius dan fanatik agama, ramuan singset Madura sampai pada cerita humornya. Humor atau parodi merupakan bahasa ungkap yang paling canggih untuk menggambarkan inti realitas. Itulah yang membedakan dengan tradisi para akademisi untuk memahami realiatas saja harus melalui jalan metodologi yang berliku-liku dan tidak semua orang bisa melakukan selain yang telah memenuhi syarat, diantara syarat itu adalah memiliki sejumlah uang agar bisa sekolah S1, S2, S3 dan seterusnya.

Tidak sedikit kaum ilmuwan atau akademisi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjelaskan realitas sesuatu, hasilnya adalah: yang mendengarkan semakin tidak paham, sementara sang ilmuwan justeru menjumpai dirinya yang berdiri jauh dari tempat kebenaran dan kenyataan yang ia jelaskan.  Bagi bangsa Madura, humor atau parodi bukan hanya sekedar guyonan

(lelucon) atau produk kata-kata yang fiktif, melainkan justeru upaya menghadirkan realitas secara sederhana yang berasal dari kehidupan sehari-hari. Seluruh content pernyataannya merupakan pilihan yang jujur dan sikap tegas yang berasal dari isi hatinya. Ia tidak hanya mengungkap realitas, tetapi berupaya menyampaikan sesuatu dibalik realitas yang terjadi. Oleh karena itu, berbeda dengan lelucon dan anekdot seperti yang diungkapkan oleh Danandjaja, humor atau parodi dari Madura justeru lebih tepat dikatakan sebagai tawashow.

Makna Tawashow

Tawashow adalah kata atau kalimat yang bermakna ganda (bahasa Arab: musytarak, bahasa Inggris: ambiguous). Pertama, bisa berupa gabungan bahasa Indonesia (tawa) dan Inggris (show) yang berarti pertunjukkan ketawa. Tertawa bukan hanya untuk mereka yang mendengar dan melihat atau mendapatkan cerita, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Kedua, bisa berasal dari bahasa Arab tawashow yang bermakna sebagai usaha saling menasihati terhadap hal-hal yang bersifat kebaikan. Dalam bahasa akademik, tawashow meliputi teks (mantuq) peristiwa dan konteks (mafhum) yang dalam perspektif hermeneutik-nya Wilhem Dilthey mengandung dimensi eksterior dan interior. Dimensi eksterior berarti suatu peristiwa sejarah atau realitas “yang hidup” yang mempunyai tanggal dan tempat tertentu, sedangkan dimensi interior mengungkap susana batin    yang     malatarbelakangi  kemunculan peristiwa tersebut.

Selanjutnya, tertawa itu sendiri bisa multi perspektif. Secara terminologis, tertawa adalah produk kata-kata atau perilaku jenaka yang menimbulkan tertawa. Dari segi medis, tertawa adalah terjadinya pengendoran pori-pori peredaran darah sehingga sirkulasi ke pusat urat syaraf menjadi lancar, dengan demikian ia dapat menyehatkan badan. Secara psikologis, tertawa adalah terjadinya penyesuaian (adjusment) diri subyek terhadap realitas. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya itulah membuat jiwa dan mental menjadi sehat. Secara sosiologis, terjadinya kesamaan persepsi dan reaksi, tanpa distingsi, polarisasi atau strukturalisasi sosial ketika suatu kelompok melihat obyek jenaka yang sama dan kemudian menimbulkan gelak tawa, itu berarti ia dapat menghilangkan polarisasi strata sosial tertentu sehingga timbullah sebuah masyarakat yang egalitarian. Secara filosofis, hakikat tertawa adalah menertawakan dirinya sendiri, sehingga ia sadar akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Secara ekonomi, tertawa adalah terjadinya penawaran kejenakaan dari pemilik jasa (produsen) untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan pengguna jasa (konsumen) yang kemudian terjadi

“margin” profit (saling ketawa) pada kedua belah pihak. Dilihat dari pendidikan, tertawa adalah terjadinya proses transformasi dan transinternalisasi nilai sehingga –setelah tertawa– terjadi suatu perubahan pada tingkat kognisi, afeksi maupun psikomotororik audiens.

Selanjutnya, tertawa dapat di lihat dari perspektif ilmu-ilmu keislaman. Secara fiqh, misalnya, ia termasuk dalam perbuatan hamba (af’al al-‘ibad) yang dapat dikenai beban hukum (taklif al-syar’iy) di mana status hukum asal adalah : mubah (boleh), kemudian status hukum berikutnya akan fleksibel menurut ‘illah dan maqashid yang terjadi, bukankah memberikan senyuman (kesenangan) kepada orang lain termasuk sedekah?. Secara teologis, adalah penyadaran akan innamal hayatud dun-ya la’ibun wa lahwun (kehidupan dunia tak lebih dari sebuah “fatamorgana” mainan dan gurauan). Dengan demikian, seorang hamba harus sungguh-sungguh menjalani kehidupan dunia untuk mecapai kebahagiaan kelak. Secara sufistik, ia adalah proses takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli adalah kesadaran untuk berupaya menjauhkan diri dari pikiran dan perilaku kotor; menjauhkan diri dari jebakan dan keruwetan duniawiyah; sehingga ia harus tertawa. Tahalli adalah upaya menyegarkan diri (freshing) –setelah tertawa– untuk selalu berbuat yang terbaik, sedangkan tajalli adalah terjadinya ektase kesadaran akan diri manusia yang ditertawakan dan kerinduan mendalam untuk “tertawa” di depan dan bersama Tuhannya.

Tulisan ini menampilkan tawashow ala Madura baik dibidang sosial-budaya, politik maupun dalam mempertahankan moral sosial dan moral agama sekaligus upaya identifikasi jati diri orang Madura. Tujuan penulisan ini, disamping upaya penafsiran dan proporsionalitas pembacaan terhadap realitas yang terjadi juga ingin menghilangkan stigmatisasi dan streotype masyarakat yang tidak menguntungkan terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat Madura  ke depan.

Secara tradisional, banyak sekali anekdot iseng-iseng yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka saling menikmati situasi ejek mengejek yang menyegarkan: Setiap bangsa, suku, komunitas, memiliki kebesaran jiwanya masing-masing untuk berintrospeksi melalui ejekan-ejekan terhadap diri sendiri. Juga dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil: keluarga, komunitas selingkuh kerja, lingkaran pergaulan dan persahabatan, selalu terdapat kebiasaan untuk menghidupi humor satu sama lain. Rumusnya jelas: makin tinggi kemampuan sebuah bangsa dalam menertawakan dirinya sendiri, semakin meningkat pula kebesaran jiwa mereka. Semakin luas pengetahuan seseorang atas kedunguan-kedunguannya sendiri, semakin matang dan tegar kepribadiannya.

Maka tidak heran, setiap majalah humor tak ada yang tidak mengeksplor lawakan-lawakan etnik; bagaimana seks Perancis dan Swedia, bagaimana pelitnya orang Yahudi. orang Belanda suka mengejek orang Belgia, orang Batak suka mendagel-dagelkan orang Aceh, dan orang Madura sangat populer jenis-jenis komedialnya di saentero Nusantara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.