
Sebentar setelah mempersilakannya duduk, Rama Kaè pamit keluar. Tidak dalam waktu yang lama, akhirnya Rama Kaè muncul dari balik pintu dapur membawa secangkir kopi. Ya, dia biasa melakukan semua ini pada setiap tamu yang datang ke rumahnya. Tidak terkecuali pada tamu yang saat ini datang dengan dendam yang membara. Dendam yang lahir karena rasa malu pada isterinya yang kesal ketika melihat beras yang dia bawa ternyata berubah garam.
Pertemuan sudah berjalan lebih dari 30 menit. Tidak ada tanda-tanda permusuhan di mata lelaki bersungut tebal itu bahkan dirinya sendiri merasa begitu tenang berada di sisi Rama Kaè. Dia juga tidak menyangka bahwa niat mencelakai Rama Kaè berubah menjadi ketakziman yang mendalam dan kekaguman yang diam-diam. Persis sebagaimana yang diceritakan orang-orang. Setiap kata yang keluar dari mulut Rama Kaè adalah kesejukan yang membawa kedamaian dalam hati. Hari ini dia benar-benar merasakannya sendiri.
Lebih-lebih, ketika dia dengan mata kepala sendiri melihat sesuatu yang sangat tidak bisa dinalar oleh akalnya sendiri, rasa kagumnya bertambah. Rama Kaè dengan tenang, melepas jala dan menjaring ikan di sepetak sawah persis di samping langgarnya. Aneh luar biasa, sepetak sawah yang dia lihat berubah menjadi kolam tempat ikan-ikan segar berlarian. Dan ketika ditarik jala itu, menggelaparlah ikan-ikan gemuk dan segar.
“Sungguh, ini tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang!” Gumannya begitu lirih sambil meletakkan telapak tangannya tepat di atas detak jantungnya. Air matanya jatuh setetes demi setetes. Terkutuklah dirinya yang telah membenci orang yang disayangi Allah. Dia menyesal. Benar-benar menyesal. Dan dia meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat itu.
“Tunggu sebentar!” sapa Rama Kaè ketika mencegah lelaki itu pulang.
“Setidaknya, sampai ikan-ikan itu matang dan kita nikmati bersama!” Lelaki itu benar-benar salah tingkah. Awalnya dengan modal kebencian dia ingin mencelakai Rama Kaè, tetapi saat ini justru orang yang dia benci itu malah mengajaknya makan-makan.
Kini kembali lagi ke pohon yang semakin menjulang tinggi. Rerantingnya yang terus bercabang semakin membuat rindang dan teduh. Banyak burung-burung yang terbang dan hinggap di atasnya. Lalu membuat sarang dan beranak-pinak di sana. Bahkan hampir setiap pagi orang-orang kampung Bandungan yang sempat akan datang ke pohon ini untuk menunggu ikan laut jatuh seperti halnya orang menunggu buah jatuh dari ranting pohon. Ya, ikan-ikan itu dibawa burung-burung dari laut dan mungkin sesampainya di pucuk pohon ikan-ikan itu terjatuh.