
“Benar. Tadi siang saya menaruh kebencian, iri, dengki pada Rama Kaè yang terlalu disegani itu!” Gumamnya dalam hati setelah dia terbangun dari mimpinya. Dan esok harinya, pagi-pagi sekali dia mendatangi rumah Rama Kaè segera. Dan seperti dalam mimpinya, dia benar-benar datang dengan tujuan meminta maaf. Anehnya, sebelum sampai kakinya menginjakkan halaman rumah Rama Kaè, tubuhnya yang tadinya masih panas meriang hilang begitu saja.
Sejak saat itu, dia pun banyak bercerita tentang keanehan-keanehan itu pada orang lain agar mereka menghormati lelaki itu. Menghormati orang asing yang datang dengan membawa kasih sayang, bukan malah menebar sebanyak mungkin kebencian yang akan membawanya pada penderitaan yang paling menyakitkan.
Tersebarlah kabar baru itu ke pelosok desa. Tentang kekaromahan dan kewalian dari sosok Rama Kaè hingga orang-orang semakin menaruh rasa hormat, rasa kagum, dan rasa berlindung di bawah kelembutan sikapnya, kecuali orang-orang yang masih belum mengenal dirinya. Orang-orang itu kelak dalam cerita ini akan dimunculkan kembali.
Pagi itu sebatang kayu yang sepintas tidak memiliki makna dan arti apa-apa ditancapkan oleh Rama Kaè dengan mengucap lafaz Basmalah. Kayu itu ia niatkan untuk mengikat tali kekang kuda putihnya yang jangkung dan gagah perkasa. Kuda itu persis seperti kuda seorang panglima perang yang kaya akan pengalaman di medan pertempuran.
Siapa sangka, dari sebatang kayu sebesar lengan manusia tumbuh menjadi sebatang pohon kecil, beranting cukup rindang, dan berdaun lebat. Tidak ada yang menyangka pula kelak pohon ini akan berguna sekali menjadi tanda pergantian sebuah musim. Kami menamainya sebagai pohon Nanggher. Sebuah pohon yang ternyata bisa hidup lebih dari ratusan tahun, sejak masa hidup Rama Kaè hingga masa kami saat ini.
Baiklah, mari kita lanjutkan terlebih dahulu cerita ini pada seekor kuda miliknya yang ternyata juga akan menjadi muasal dari beberapa sejarah nama-nama di sekitar kampung kami, kampung Bandungan. Kuda itu di mata Rama Kaè selain menjadi menjadi sebuah kendaraan, ternyata ia juga menjadi hewan piaraan yang disayangi, maka tak heran bila setiap pagi ia rutin memandikannya ke sungai kecil yang airnya mengalir sepanjang musim penghujan.
Rutinitas inilah yang oleh masyarakat sekitar dinamakan sebagai sungai Tojhàràn. Sebuah sungai kecil yang di kedua sisinya terdapat batu yang menghampar lebar. Itulah sebabnya, asal muasal kata Tojhàràn. Gabungan dari kata To asal dari kata bàto yang berarti batu. Jhàràn yang berarti kuda. Nama ini lahir begitu saja dari orang-orang kampung Bandungan.