
Inilah awal kewaliannya dipahami oleh masyarakat sekitar. Semakin hari dia semakin disegani saja oleh orang-orang yang mengenalnya. Semakin hari, dia semakin dihormati oleh semua kalangan. Penghormatan yang luar biasa itu tidak lantas dijadikan alat untuk mengambil keuntungan bagi diri dan keluarganya. Dia tetap memosisikan dirinya sebagai seseorang yang membutuhkan orang lain untuk melangsungkan hidupnya. Dia tetap menjaga kedekatan dirinya dengan orang-orang sekitar. Dia tetap menjauhkan kebencian agar tidak menguasai hatinya, meski beberapa orang ada yang membencinya.
“Apa perlu kami menegurnya, Kè?” Tawar seseorang pada suatu ketika ada yang acuh tidak acuh pada diri Rama Kaè.
“Tidak usah. Nanti malah kebencian lain yang menguasai hatimu! Kalau itu terjadi, bisa-bisa mengundang kebencian lain dan sudah pasti akan terjadi permusuhan yang memecah satu sama lain!” Balasnya dengan tenang dan nada suara yang tetap lembut.
“Biarlah, kita tunggu saja. Suatu saat dia akan menyadari kesalahannya. Lagi pula sebenarnya dia itu belum sadar saja, bukan tidak mau sadar!” Lanjutnya menenangkan suasana tegang. Kata-kata Rama Kaè dan telapak tangannya yang mengusap-usap pundak lelaki itu begitu mudah memadamkan kemarahan.
Kita lewati saja dulu cerita tentang perbincangan Rama Kaè tadi dan pindah sebentar ke sebuah rumah di ujung kampung tempat Rama Kaè dan keluarganya tinggal. Sebuah rumah yang tidak terlalu sederhana sekadar menyebut salah satu untuk rumah orang kaya. Tegak berdiri di antara pohon-pohon kelapa dan siwalan yang menjulang. Rumah itu cukup mencolok di pandangan mata, sebab memang berbeda dengan kebanyakan rumah di kampung itu.
Sesampainya di rumah, orang yang tadinya ciut pada Rama Kaè dengan pandangan yang menyinggung perasaan merasa tidak enak badan. Sepanjang malam badannya panas meriang. Dalam mimpi, dia bertemu dengan sosok lelaki kekar berjubah putih dengan wajah yang teduh. Lelaki berjubah itu lantas berkata dengan nada yang tidak marah.
“Pikirkanlah, apakah kamu sudah melakukan kesalahan pada orang lain?”
“Maksudmu?”
“Kalau pernah, sebaiknya kamu datang menemui orang itu dan meminta maaf padanya.” Lantas lelaki berjubah itu pun raib begitu saja. Seperti ditelan awan putih.
Dalam beberapa menit lelaki itu mengernyitkan dahi. Matanya menatap kosong. Dia benar-benar dibuat bingung oleh perkataan lelaki misterius barusan. Diulanginya ingatannya kembali. Mulai dari dia berangkat dari rumah tadi pagi hingga sore dan tiba kembali ke rumah ini. Ia terperangah ketika mengingat sebelum sampai di rumah, dia menciutkan sapaan seseorang di ujung kampung itu.