
Pucuk dicinta ulam tiba. Sungguh benar-benar dia merasa sangat gembira sebab keinginannya terpenuhi. Dia bertemu dengan lelaki berkulit putih dan selalu memakai jubah putih itu. Kebetulan rama Kaè sedang menuntun kuda kesayangannya menuju pohon besar.
“Kebetulan sekali. Akan saya ganggu kudanya dengan mantra saya!” Harapnya penuh gembira.
Dan betul sekali, ketika lewat di samping Rama Kaè yang baru selesai mengikat tali kekang, kuda itu langsung melonjak tiba-tiba seperti ada yang melemparnya dengan batu. Tidak hanya itu, kuda putih yang perkasa miliknya meringkik-ringkik mengerikan. Rama Kaè punya cara tersendiri untuk menenangkan kudanya yang menggila itu. Diusapnya kepala dan pundak kuda kesayangannya itu dengan lembut, dan berhentilah kuda itu mengamuk.
“Maaf, apa yang Tuan bawa itu? Sampai-sampai kuda kesayangan saya menggila seperti tadi. Seperti ketakutan ketika melihat dua karung sak yang Tuan pikul!” Sapa Rama Kaè dengan lembut agar tidak menyinggung apalagi sampai melukai hati.
“O, ini.” Balas lelaki bersungut tebal itu dengan nada yang enteng.
“Bukan apa-apa, kok. Ini hanya dua karung garam yang saya bawa!”
“O, begitu?” Sambil tersenyum, Rama Kaè hanya mengangguk-angguk pelan padahal dia tahu bahwa di dalam karung itu isinya adalah beras. Dia membiarkan saja lelaki itu membohongi dirinya. Dia tidak menegurnya, kecuali di dalam hatinya dia berharap agar suatu saat lelaki itu bisa sadar akan kebohongannya tadi. Menurutnya, satu kebohongan akan membuat sesorang sengsara dan menderita.
“Tidak mampir dulu sebentar, Tuan? Sekadar minum kopi dan ngobrol?”
“O, tidak. Saya sedang keburu!” Berlalulah lelaki itu dengan membanting tatapan yang sinis kepada Rama Kaè. Rama Kaè tetap membalasnya dengan senyum yang renyah.
Sepanjang jalan, lelaki bersungut tebal itu tertawa sendiri. Dia merasa sudah menang. Ternyata kehebatan lelaki pendatang itu tidak sebagaimana yang dia dengar dari orang-orang. Ternyata Rama Kaè tidak lebih seperti kebanyakan lelaki di kampungnya. Terbukti dia sudah berhasil membuat kudanya gila, meski tidak dalam beberapa lama berhasil tenang kembali.
Sepanjang jalan pula, setiap kali bertemu dengan seseorang, lelaki itu mesti bercerita tentang dirinya yang telah berhasil membuat kuda kesayangan Rama Kaè gila. Dia terlalu membanggakan dirinya. Dia terlalu mengunggulkan kehebatannya. Berharap orang-orang lebih memilih dirinya untuk dihormati, disanjung, dituakan, dan disegani dari pada Rama Kaè.