Rama Kaè, Ramalan Musim, dan Kematian yang Tak Bisa Dihentikan

Rama Kaè, Ramalan Musim, Dan Kematian Yang Tak Bisa Dihentikan
Gambar: Tamar Saraseh

Lengkaplah rasanya hidup Rama Kaè di kampung ini. Menjadi muasal dari sejarah nama Parama’an, Sungai Tojhàràn, Kaju Rajà, dan perihal tanda-tanda pergantian musim tersebut. Ada satu nama lagi yang masih belum disebutkan dalam cerita ini, yaitu nama Bhuju’ Lancèng. Nama ini ada dalam kisah berikut ini. Yaitu tentang peristiwa menyedihkan dan dia tidak bisa mengungkapkan pada siapa pun, termasuk pada isteri dan anak lelakinya sendiri. Biarlah mereka semua mengetahuinya pada saatnya tiba.

Tepat sekali, ketika hari itu tiba. Hari di mana dia akan melihat banyak orang menangis karena sedih, merasa kehilangan, dan semacamnya. Dia sudah mengetahui lebih dulu peristiwa menyakitkan itu akan terjadi hari ini sebelum orang-orang terdekatnya tahu, sebelum tangis itu benar-benar pecah di rumahnya, sebelum matahari benar-benar tenggelam, sebelum kuda putih kesayangannya itu meringkik sedih.

Bahwa hari ini sudah menjadi garis hidup bagi anak lelakinya untuk  mengembuskan napas terakhir sebelum dia sempat menikah. Orang-orang akan tercengang heran dan tidak percaya. Sebab pada hakikatnya putera Rama Kaè itu tidak didengar menderita sakit sebelum-sebelumnya.

“Itulah takdir!” Ucapnya tenang pada semua orang yang turut hadir di rumahnya.

“Sehebat apa pun manusia, sesakti apa pun dia, dan setangguh apa pun kekuatannya, tidak akan pernah ada yang benar-benar bisa melawan keputusan Allah! Termasuk dengan diri saya!”

Orang-orang yang hadir hanya bisa menunduk tunduk sambil membenarkan kalimat Rama Kaè. Putreranya itu dimakamkan di kampung Parama’an, maka dikenallah di kampung tersebut dengan Bhuju’ Lancèng. Lancèng yang berarti lajang, belum pernah menikah. Ini mengacu pada putera Rama Kaè yang meninggal sebelum menikah.

Sementara kami di sini, sampai pada detik ini, tidak ada yang benar-benar tahu, tentang kisah Rama Kaè selanjutnya, tentang kematiannya, dan di mana letak makamnya. Hanya saja sosoknya masih sering hadir pada beberapa orang, termasuk keturunannya dan orang-orang yang dia kehendaki untuk ditemuinya. Dia selalu hadir dalam mimpi.

“Saya tidak mati! Saya masih hidup, tetapi kamu tidak perlu tahu ada di mana!” Itulah ucapannya setiap kali hadir dalam mimpi itu. Kami sangat mempercayainya sebagaimana kami yakin pula bahwa para wali Allah tidak pernah mati meski jasadnya tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Tulisan cerita ini telah terbit dalam bentuk buku “Bunga Rampai Cerita Rakyat Sumenep, MUTIARA YANG TERSERAK” (penerbit Rumah Literasi Sumenep, 2018)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.