Rama Kaè, Ramalan Musim, dan Kematian yang Tak Bisa Dihentikan

Rama Kaè, Ramalan Musim, Dan Kematian Yang Tak Bisa Dihentikan
Gambar: Tamar Saraseh

Sampai saat ini, nama itu melekat betul di telinga kami. Menurut cerita yang berkembang, ketika datang ke sungai ini pada malam hari, maka akan terdengar bunyi ringkikan kuda yang begitu perkasa. Peristiwa ini menjadi tanda besar bahwa jauh sebelum kami ada, ratusan tahun silam,  di tempat itu memang menjadi tempat mandi kuda putih milik Kiai Tumenggung Huda.

Di sebelah Baratdaya kampung Bandungan, ada sebuah perkampungan lain juga yang tidak begitu banyak penduduknya. Tergodalah hati Rama Kaè untuk juga berkumpul, bermain, dan bermasyarakat dengan penduduk tersebut. Tujuannya adalah menjalin silaturrahim yang baik sesama manusia sebelum akhirnya mengajak mereka tekun beribadah sebagai bekal nanti di akhirat.

Setiap kali datang ke tempat tersebut, Rama Kaè selalu mengendarai kuda putih kesayangannya. Ia juga selalu mengikat tali kekang kudanya ke sebuah pohon rindang di tengah kampung. Di tempat itulah kaki kuda putih itu menggaruk-menggaruk tanah hingga rumput-rumput yang tumbuh kering dan mati. Masyarakat kemudian menamakan kampung itu dengan Parama’an yang memiliki arti tempat kaki kuda menggaruk tanah.

Tidak bisa dipungkiri kemasyhuran Rama Kaè atau Kiai Tumenggung Huda sudah menyebar luas hingga ke luar kampung Bandungan. Kabar ketenarannya ternyata melahirkan dua pandangan. Pandangan pertama adalah orang-orang yang mengakui dengan suka rela sedangkan pandangan kedua adalah orang-orang yang tidak bisa menerima kabar itu. Di antara mereka ada yang langsung menaruh kebencian yang mendalam. Ingin membuktikan langsung apa benar yang dikatakan oleh banyak orang tentang kehebatan Kiai Tumenggung Huda.

Ada lelaki bersungut tebal dan bertubuh jangkung itu pun semakin penasaran saja. Menurutnya kelak namanya akan kalah dikenang dibanding nama Rama Kaè, jika semua ini tetap dibiarkan berlanjut. Ketika baru pulang membeli beras, dia berjalan lewat jalan setapak pematang sawah. Dengan mata yang tajam, langkah gontai, dan dada membusung lelaki sombong itu berharap bisa bertemu dengan Rama Kaè. Dia ingin melihat seperti apa orangnya.

“Saya benar-benar penasaran!” Gumamnya pelan.

Dari jauh dia sudah melihat sebuah gubuk sederhana dengan langgar kecil tempat anak-anak mengaji, dan sebuah pohon besar rindang di sampingnya. Dadanya semakin berdebar ingin melihat dari dekat tubuh lelaki yang sangat kesohor itu. Dengan ilmu kesaktian yang dimiliki dan modal sombong yang menjulang, lelaki bersungut tebal itu tidak berhenti berharap ingin bersua langsung meski tanpa sapaan sebagaimana biasa dia lakukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.