
Jika masyarakat Jawa mengenal lamaran hanya dilakukan dengan kunjungan pihak keluarga laki- laki, maka masyarakat Madura tidak demikian. Setelah kunjungan dari pihak laki-laki, pihak keluarga perempuan umumnya segera mengadakan kunjungan balasan, meskipun peresmian ikatan pertunangan hanya terjadi pada kunjungan pertama. Dalam dua kunjugan tersebut, pihak tuan rumah menyediakan makanan ringan hingga makanan berat dan sesuguhan lain sedangkan pihak yang berkunjung membawa berbagai macam oleh-oleh mulai dari makanan hingga pakaian bagi calon mempelai perempuan. Uniknya, tradisi membawa pakaian yang demikian hanya dilakukan pihak keluarga laki-laki dan dilengkapi dengan kosmetik serta peralatan kecantikan lain.
Pertunangan dalam masyarakat Madura tidak hanya dimaksudkan untuk meresmikan sebuah perjodohan dan sebagai jembatan menuju lembaga pernikahan, akan tetapi juga sebagai space bagi kedua calon mempelai untuk mengenal satu sama lain. Karena itu, tidak sedikit pasangan yang menjalani masa pertunangan dengan durasi waktu yang cukup lama utamanya jika kedua calon mempelai masih belia ketika resmi terikat dalam sebuah pertunangan. Ini juga berkait erat dengan tradisi perjodohan yang menempatkan kedua calon mempelai pada posisi belum mengenal satu sama lain.
Di sisi lain, hal demikian juga menjadi semacam kompromi dari ketidakterlibatan perempuan dalam perjodohan hingga proses peresmian pertunangan. Dengan alasan dan legitimasi tersebut, dua orang yang telah terikat dalam suatu pertunangan umumnya memiliki privilege untuk melakukan kebiasaan- kebiasaan yang secara umum tidak diterima oleh norma moral-etik masyarakat Madura, semisal bepergian berdua, rekreasi dan belanja berdua, saling mengunjungi rumah masing-masing pada hari raya dan lain sebagainya.
Hubungan dekat dan pergaulan yang terlalu intens antara dua orang lajang semacam itu umumnya belum bisa diterima masyarakat Madura, akan tetapi mereka akan memberi idzin khusus bagi pasangan yang telah terikat dalam sebuah pertunangan. Sebagian masyarakat Madura belakangan melakukan otokritik terhadap kebiasaan memaklumi paradoks legalized dating tersebut sehingga perubahan- perubahan kecil mulai muncul dalam lembaga pertunangan meski jumlahnya belum seberapa dibanding kebiasaan mainstream.
Di satu sisi, kebiasaan tersebut menguntungkan perempuan Madura sebab yang bersangkutan memiliki ruang dan kesempatan untuk mengenal calon laki-laki yang kelak akan menjadi suaminya. Kesempatan demikian juga berarti ruang untuk komunikasi, saling memahami karakter masing-masing, mengetahui mimpi dan cita-cita pasangan sekaligus menceritakan keinginan-keinginan pribadi, mengetahui dan belajar berkompromi dengan kekurangan masing- masing hingga membicarakan keberlanjutan pertunangan dan atau rencana pernikahan.
Namun demikian di sisi lain, kesempatan tersebut baru didapat seorang perempuan ketika dirinya telah terikat dalam sebuah pertunangan sehingga ini tampak seperti hadiah yang terlambat karena tak member banyak pilihan. Kendatipun misalnya si perempuan menemukan hal-hal yang kurang menyenangkan dari si calon suami yang tidak sesuai dengan kriteria sosok suami dambaannya dan tidak bisa ditolerir, mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mengandaskan sebuah pertunangan sebab pertunangan bagi masyarakat Madura hampir selalu menandai suksesnya sebuah perjodohan dan atau pintu gerbang yang begitu dekat dengan pernikahan.
Pertimbangan ketidakcocokan yang demikian dianggap bukan masalah serius—dengan anggapan bahwa kecocokan akan timbul seiring kebersamaan—sehingga belum bisa menjadi alasan untuk mengandaskan sebuah pertunangan.
Sementara itu bagi pasangan yang bertunangan lewat inisiatif sendiri atau perjodohan dan telah mengenal satu sama lain, lembaga pertunangan berfungsi semakin mempererat hubungan dan memastikan bahwa rencana menuju pernikahan berjalan mulus dan lancar. Karena itulah, berbagai upaya dilakukan untuk memanfaatkan sebaik mungkin masa-masa pertunangan termasuk dengan kebiasaan seorang laki-laki memberi uang saku atau tunjangan kepada tunangannya. Tunjangan yang demikian umumnya diberikan secara suka rela dan tergantung kemampuan si calon mempelai laki-laki serta tidak ada timbal balik dari pihak perempuan.
Perempuan Madura dalam hal ini bisa dibilang diuntungkan secara fisik sebab begitu ia resmi menjadi tunangan dan atau calon istri seseorang, si calon laki-laki akan memberinya tunjangan dalam bentuk uang dan atau barang. Meski jumlah, jenis dan frekuensinya berbeda antarindividu, tunjangan yang demikian hampir menjadi kewajiban rutin menjelang hari raya Idul Fitri. Calon mempelai laki-laki dan atau keluarga biasanya memberi sejumlah uang bagi si perempuan untuk membeli baju baru dan keperluan hari raya lain. Atau jika tidak, si perempuan biasanya akan diajak ke sebuah pusat perbelanjaan dan dipersilakan membeli baju dengan model, ukuran dan warna yang ia inginkan. Baju tersebut umumnya dipakai ketika kunjungan rutin hari raya dalam rangka silaturrahmi antar kedua calon mempelai.
Selain dalam momen hari raya Idul Fitri, kunjungan yang demikian juga terjadi ketika salah satu dari dua keluarga calon mempelai tengah menggelar acara, hajatan atau tasyakuran yang melibatkan tetangga atau keluarga besar semisal pernikahan, aqiqah, maulid nabi, walimah safar ibadah haji, peringatan kematian dan lain sebagainya. Dalam momen-momen yang demikian, hampir bisa dipastikan sang tunangan akan datang berkunjung dan diperkenalkan pada keluarga besar. Kunjungan dan kehadiran tersebut kurang lebih dimaksudkan untuk semakin mengenal (kebiasaan) keluarga masing-masing setelah mengenal figur calon pendamping secara pribadi dan utamanya dimaksudkan untuk mempererat ikatan pertunangan serta memantapkan langkah semua pihak untuk menuju pernikahan.
Simpulan
Posisi perempuan Madura sebagai prestise sebuah keluarga sekaligus seorang laki-laki yang menjadi tunangan atau suaminya serta tradisi perjodohan yang masih hidup di masyarakat setempat adalah dua hal yang berkait demikian erat. Yang pertama meligitimasi yang kedua sedang yang kedua menopang yang pertama.
Keunikan-keunikan dalam berbagai pandangan hingga kebiasaan masyarakat Madura dalam dua hal tersebut tidak hanya bertalian dengan sikap keagamaan mereka sebagai masyarakat yang relijius, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kemauan menjaga bahkan mengangat derajat sosial dan ekonomi. Seperti halnya kearifan-kearifan lokal di daerah lain, hal-hal tersebut tidak dapat dilihat dari kacamata benar-salah, sebab kearifan yang demikian— dengan berbagai modifikasi dan evolusi—tetap tumbuh subur dari berbagai generasi ke generasi selanjutnya dan semakin memiliki nilai legitimasi bagaimanapun bentuknya.
Ini utamanya berkait dengan adanya nilai tukar yang pantas bagi perempuan Madura setelah diharuskan menjalani berbagai kebiasaan dan tradisi dalam masyarakat yang menempatkan mereka sebagai symbol preside. Kearifan-kearifan lokal yang pada perkembangannya melahirkan sikap dan tindakan serta kebiasan masyarakat Madura seperti yang disebutkan pada bagian- bagian sebelumnya pada kenyataanya tidak selalu menempatkan perempuan Madura pada posisi subordinat atau dirugikan secara fisik maupun non-fisik.
Berbagai perubahan dan cara pandang masyarakat belakangan juga turut mempertinggi daya tawar perempuan Madura baik dalam statusnya sebagai simbol prestise maupun sebagai pelaku tradisi perjodohan. Ruang berkespresi dan mengembangkan diri bagi perempuan Madura perlahan diperlebar dengan kesadaran untuk mendongkrak prestise keluarga begitu juga dengan tradisi perjodohan. Modifikasi dan langkah-langkah untuk lebih melantangkan suara dan aspirasi perempuan dalam perjodohan juga mulai tampak sebab alur hingga ending sebuah perjodohan hingga pertunangan atau pernikahan juga banyak ditentukan oleh perempuan yang menjalaninya.
Terlepas dari berbagai hal tersebut, beberapa PR memang masih tersisa bagi perempuan Madura secara khusus maupun masyarakat Madura secara umum. Perihal pernikahan dini tanpa pertimbangan masalah kesehatan, iming-iming melanjutkan pendidikan setelah menikah yang tidak banyak terealisasi, ruang bagi perempuan untuk menyatakan sikap dan menentukan pilihan—perihal perjodohan, pertunangan hingga pernikahan—dengan bertanggungjawab serta anggapan negatif terhadap perempuan yang terlalu asyik mengejar karier perlu ditinjau ulang. Selain melalui advokasi hingga penyuluhan, komunikasi yang intens dengan pihak keluarga atau orang-orang yang bersangkutan dengan tradisi perjodohan juga perlu digalakkan agar didapatkan win-win solution demi kebaikan bersama. [x]
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Birri, Miftahol. 2009. “Otonomi Perempuan Madura dalam Perkawinan” Skripsi Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hadi MW, Abdul. “Madura: Sejarah, Sastra dan Perempuan Seni” dalam http://www. lontarmadura.com/madura-sejarah-sastra- dan-perempuan-seni-2/
Mulyadi, Achmad. “Perempuan Madura Pesisir Meretas Budaya Mode Produksi Patriarkat”, Jurnal Karsa STAIN Pamekasan Vol. 19 No. 2 tahun 2011
Sutarto, Ayu “Sekilas Tentang Masyarakat Pendalungan”, dalam http://www. lontarmadura.com/sekilas-masyarakat- pandalungan/.
Rifa’i, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan Pandangan Hidupnya Seperti Diceritakan Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Rozaki, Abdur. “Kepemimpinan Informal di Madura”, dalam http://www.lontarmadura. com/kepemimpinan-informal-di-madura/
Tanzil, Muhammad. “Dampak Negatif Tradisi Pertunangan bagi Perempuan Madura dalam Perspektif Budaya Madura, dalam http://tanziltc.wordpress.com/2010/03/21/dampak-negatif-tradisi-pertunangan-bagi-perempuan- madura-dalam-persfektif-budaya-madura/
Rahman, Jamal D. “Sesisir Pisang Kiai: Sedikit tentang Kosmologi Madura”, dalam http:// www.lontarmadura.com/?s=sisir&x=0&y=0
Utomo, Haryo Ksatrio “Persamaan, Perbedaan dan Feminisme: Studi Kasus Konflik Sampang-Madura”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Universitas Indonesia Jakarta vol. 16 no. 2, Desember 2012
Wiyata, A. Latif. 2002. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura Yogyakarta: LKiS. Wiyata, Latif A. 2003. Madura yang Patuh? Kajian Antropologi mengenai Budaya Madura Jakarta: FISIP UI
Zubairi, Dardiri. 2013. Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura. Surabaya: Andhap Asor dan Al-Afkar Press.
http://www.lontarmadura.com/kepemimpinan-informal-di-madura/
http://www.tempo.co/read/news/2015/10/27/058617407/Goda-Istri-Orang-Sopir-Angkot-Dibacok-di-Jalan
http://www.surabayapagi.com/index.php?read~-Tragedi-Sampang-Rebutan-Cewek;3b1ca0a4 3b79bdfd9f9305b812982962f6733ce081884f319ff9175b83e78441
http://rona.metrotvnews.com/read/2014/11/03/313423/iwet-gambarkan-perempuan-madura-lewat-batik .
http://www.warungbebas.com/2010/01/inilah-sifat-umum-etnis-orang-madura.html
http://www.lontarmadura.com/pernikahan-adat-madura-2/
http://abdulmuhidzakia.blogspot.com/2014/05/adat-perkawinansuku-madura.html
__________
[Judul asli: Perempuan Madura Sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan (Sumber: Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desember 2014)]