Makna Labãng Mesem, Keraton Sumenep

Labãng Mesem bisa diartikan sebagai Pintu Senyum, merupakan pintu masuk menuju Kawasan utama Keraton Sumenep

Bila anda berkunjung ke museum keraton Sumenep, sekirar area tersebut akan tampak sebuah bangunan yang terletak didepan museum atau di depan keraton Sumenep bagian timur sebuah gerbang besar dengan lorong pintu masuk. Pintu masuk tersebut untuk menuju keraton Sumenep, kemudian dikenal sebagai Labãng Mesem

Labãng Mesem bisa diartikan sebagai Pintu Senyum, merupakan pintu masuk menuju Kawasan utama Keraton Sumenep. Ia semacam pintu gerbang utama, lazimnya bangunan keraton pada umumnya. Posisi Labãng Mesem di sisi kiri jika dilihat dari dalam keraton yang menghadap ke arah selatan ini.

Hingga saat ini, banyak ditemukan tulisan atau informasi tentang makna Labãng Mesem. Baik yang ada di website ataupun yang didapat dari pihak penjaga museum keraton sendiri. Diiketahui bahwa Labãng Mesem merupakan sebutan yang mengacu pada sejarah lisan. Meski info tersebut brlum bisa dipertanggung jawabkan.

Lepas dari benar-tidak, yang penting ada yang bisa ditulis. Sehingga, memenuhi tuntutan kejar tayang. Tak masalah pembaca disuguhi info akurat atau tidak. Toh, nanti mereka akan menyimpulkan sendiri. Biasanya begitu alasan klasik sang penulis.

Nah, kembali pada tulisan salah satu web itu. Penyebutan Labãng Mesem dikarenakan dulu, di waktu Pangeran Jimat, salah satu penguasa Sumenep yang memerintah 1721-1744 M, pintu masuk keraton dijaga oleh para pengawal yang bertubuh kerdil. Orang Sumenep menyebutnya cabul, tapi bukan “cabul” dalam Bahasa Indonesia. Jika dibahasa Indonesiakan lagi, cabhul  (manusia kecil, cebol, kerdil), dan kata lain yang semakna.

Sehingga, katanya, ya kata di website itu, ketika ada orang yang melihat pemandangan tersebut; baik masyarakat, tamu, atau kalangan keraton sendiri sering senyam-senyum geli. Sehingga lantas, lambat laun, pintu masuk atau gerbang keraton itu disebut dengan Labãng Mesem.

Kemudian, ada versi lain lagi. Juga di web tersebut. Katanya lagi, disebut Labãng Mesem karena dari atas Labãng Mesem, yang merupakan sebuah loteng kecil, raja biasa mengawasi area sekitar keraton. Ketika itu, raja juga mengawasi isteri, dan putri-putri keraton, serta dayang-dayang yang sedang mandi di Taman Sarѐ (Taman Sari).

Yang mana menurut website tersebut Taman Sarѐ ditulis sebagai kolam pemandian khusus keluarga keraton. Lokasinya tepat di sebelah timur Labãng Mesem. Nah, saat memperhatikan pemandangan kolam dan mereka yang mandi di sana itulah, raja lantas tersenyum, atau mesem.

Lagi, versi lain yang tertulis di website lain. Istilah Labãng mesem muncul pasca “Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya.

Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.” Begitu keterangan yang saya salin utuh dari web tersebut.

Sampai di sana, mari kita coba kaji satu-persatu tiga versi tersebut.

Begini. Bicara manusia bertubuh kerdil, atau cebol, tentu bukan hal yang aneh. Hingga masa kini, kelainan genetik atau yang sifatnya alamiah, faktor X, yang murni merupakan kehendak Sang Kuasa menciptakan mahluknya dalam ragam bentuk, rupa, dan sifat; masih terus ada.

Saya tak lantas menuduh pencerita versi itu mengarang-ngarang. Namun tidak bisa juga kita lantas menafikan kisah anekdot. Meski fiksi sifatnya, umumnya bertujuan baik. Ada yang ingin membangkitkan sense, menyentil dengan humor, namun tujuannya tidaklah buruk, meski sekadar membuat orang tertawa atau terharu.

Terkait dengan versi pertama, di situ ada Pangeran Jimat dan manusia cebol. Belum ada literatur yang menjelaskan hubungan manusia cebol dengan Pangeran Jimat yang bernama lain Raden Ahmad alias Pangeran Cakranegara III ini. Di pasarean tokoh yang dikenal keramat itu memang terdapat beberapa kuburan “mini”. Keterangan sejak jaman lampau yang tetap dikenal hingga kini, itu makam manusia atau orang cebol.

Versi pertama di atas menceritakan bahwa orang-orang cebol (meski belum pasti yang dimakamkan di kubah Pangeran Jimat) adalah pengawal yang menjaga Labãng Mesem. Entah dari mana sumbernya. Tapi anggaplah itu benar. Tak jadi persoalan.

Lalu di mana masalahnya?

Pangeran Jimat seperti disebut di muka memerintah tahun 1721-1744 M. Kala itu pusat pemerintahan, kediaman raja, atau yang lidah masyarakat menyebut karaton, terletak di Kawasan Karang Toroy. Pusat tersebut dimulai sejak pemerintahan Pangeran Cakranegara I, alias Raden Abdullah (1589-1626), penguasa Sumenep ketujuh sebelum Pangeran Jimat.

Lokasi itu terus bertahan hingga dua penguasa setelah Pangeran Jimat, yaitu Pangeran Lolos dan Ke’ Lesap. Baru setelah itu, yaitu di masa Ratu Tirtonegoro dan suaminya, Bindara Saot, pusat keraton pindah ke Pajagalan. Yaitu lokasi keraton yang bangunannya tetap ada hingga sekarang.

Jika demikian, sebutan Labãng Mesem di waktu itu jelas tidak tepat. Karena waktu itu bangunan keraton yang berLabãngkan mesem itu masih belum ada. Bangunan itu baru ada di masa Panembahan Sumolo (memerintah 1762-1811 M), sang pembangun, yaitu pengganti Bindara Saot. Lokasinya juga di Pajagalan, bukan Karang Toroy. Jadi, versi ini selesai hingga di sini, jika tak mau diabaikan saja.

Selanjutnya mengenai versi kedua, yakni soal penyebutan Labãng mesem yang mengacu pada sikap raja saat melihat para isteri dan putri serta dayang sedang mandi di Taman Sari, dari atas Loteng Labãng Mesem.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.