28/03/2023

Ekspresi wajah perempuan Madura saat berias

Perempuan juga merupakan bagian penting dalam struktur masyarakat Madura karena menjadi simbol prestise dan kehormatan sebuah keluarga
Ekspresi wajah perempuan Madura saat berias

Fenomena Perjodohan dan Tahapan- Tahapannya

Dalam masyarakat Madura, sebuah pernikahan biasanya diawali dengan proses perjodohan kemudian pertunangan. Perjodohan berarti upaya menjodohkan seorang laki-laki dan perempuan dengan inisiatif pihak selain kedua calon mempelai, sedangkan pertunangan adalah peresmian pertama ikatan tersebut. Selanjutnya, jika tak ada aral melintang, pertunangan kemudian dilanjutkan dengan pernikahan yang merupakan proses akhir menyatukan dua orang dalam sebuah lembaga perkawinan.

Tahapan-tahapan ini utamanya terjadi jika kedua calon mempelai sama-sama berasal dari suku Madura, baik mereka yang tinggal di wilayah Madura maupun di daerah lain yang mayoritas didiami suku Madura seperti daerah-daerah Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, Probolinggo, Lumajang dan Pasuruan.  Meski belakangan proses pertunangan tak jarang dilewati atau dimodifikasi demi alasan efektivitas waktu maupun biaya atau dengan pertimbangan salah satu atau kedua mempelai dipandang telah cukup umur dan siap menikah, tahapan yang demikian tetap menjadi mainstream dan begitu populer di kalangan masyarakat Madura.

Mayoritas masyarakat Madura masih mencarikan atau menentukan calon pasangan hidup untuk anak gadis mereka sehingga dalam kasus-kasus demikian, hampir bisa dipastikan perjodohan terjadi tanpa persetujuan si perempuan yang bersangkutan dan hanya bermodal persetujuan keluarga dari dua belah pihak. Meski praktik yang demikian mulai ditinggalkan seiring dengan berubahnya pola pikir masyarakat, ini tak berarti bahwa perjodohan dalam masyarakat Madura benar-benar hilang.

Begitu seorang anak gadis beranjak dewasa, orang tua atau bahkan keluarga besarnya akan mulai merasa gelisah jika belum ada keluarga atau oknum tertentu dari calon pasangan laki-laki yang melamar secara langsung atau sekadar menanyakan keberadaan si perempuan seperti yang lumrah dikenal dengan istilah ngin-ngangin.  Faktor inilah yang kemudian memunculkan inisiatif untuk segera mencarikan jodoh bagi si anak gadis dari kalangan saudara atau sahabat dekat. Jika sudah ada lamaran untuk meminang sang gadis dalam sebuah pertunangan, kemungkinan diterimanya lamaran tersebut sangatlah besar. Lagi-lagi ini berkait erat dengan kedudukan perempuan sebagai simbol prestise keluarga di mana keberadaan perempuan yang sudah cukup usia untuk menikah tapi masih melajang atau belum bertunangan dianggap menjadi noda tersendiri bagi sebuah keluarga.

Perjodohan yang demikian adakalanya murni merupakan inisiatif dari pihak keluarga laki-laki atau merupakan hasil perundingan antara dua keluarga. Hanya saja, karena masyarakat Madura dalam sebagian hal masih patriarkis, pihak laki- laki hampir bisa dipastikan masih selalu menjadi subjek yang terlebih dahulu mengunjungi rumah si perempuan untuk menyampaikan niat baik secara resmi. Setelah mendapatkan respon positif, diresmikanlah sebuah pertunangan yang merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Dalam proses-proses tersebut, peran dan atau campur tangan anggota keluarga besar hingga tokoh masyarakat—kiai—hampir tak terhindarkan, mulai dari memberi saran dan arahan, memediasi kesepakatan antardua keluarga hingga meresmikan sebuah ikatan pertunangan.

Campur tangan yang demikian sebenarnya juga dialami lelaki (pemuda) Madura, hanya saja perempuan terbilang lebih sering mengalami hal tersebut.  Inisiatif keluarga mencarikan calon jodoh banyak dilatarbelakangi oleh pertimbangan menyambung kekerabatan21 hingga motif sosial dan ekonomi. Keinginan untuk tetap menjaga hubungan darah atau pertemanan tidak jarang diwujudkan dalam sebuah perjodohan sehingga hubungan antaranggota keluarga dan atau sahabat diharapkan tetap dan akan semakin terjaga dengan baik dari generasi ke generasi.

Meski beberapa kasus menunjukkan bahwa perjodohan dengan motif semacam ini rentan konflik dan perpecahan— khususnya jika pertunangan yang diresmikan kemudian tidak berlanjut pada pernikahan—, tidak sedikit masyarakat Madura yang masih memraktikkannya. Adapun pertimbangan sosial dan ekonomi umumnya berkait erat dengan konsep bibit bebet dan bobot serta keinginan untuk menyambung keluarga dengan pihak lain yang status sosial dan ekonominya tidak jauh berbeda atau bahkan lebih tinggi. Masyarakat Madura secara umum masih menganggap bahwa memiliki calon menantu yang latar belakang keluarga menengah ke atas, misalnya, akan sangat mendongkrak martabat kelarga si perempuan.

Sementara itu, inisiatif seorang kiai terhadap sebuah perjodohan bisa jadi muncul dari sang kiai sendiri atau dari inisiasi orang lain yang (berkepentingan, dalam hal ini keluarga calon mempelai laki-laki) meminta bantuan sang kiai untuk menyampaikan maksud baik mengawali sebuah perjodohan. Karena posisi kiai yang begitu dihormati dalam masyarakat Madura,22 hampir bisa dipastikan bahwa tingginya probabilitas kesuksesan sebuah rencana perjodohan berbanding lurus dengan level prestise kiai yang bersangkutan. Orang tua dan keluarga si perempuan akan merasa sungkan atau rikuh jika kebaikan hati sang kiai tidak disambut dengan respon positif, sehingga perjodohan yang demikian hampir selalu berakhir sukses.

Praktik ini sebenarnya berkait erat dengan relasi kekuasaan dalam masyarakat Madura di mana kiai atau tokoh agama dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar. Tak heran, saran  seorang kiai (dan atau istrinya yang biasa disebut nyai) begitu dianggap legitimate termasuk dalam hal perjodohan.  Masyarakat Madura kerap meminta saran atau pertimbangan seorang kiai untuk menginisiasi atau melanjutkan rencana perjodohan. Jika dengan berbagai cara—mulai dari yang halus hingga yang kasar—seorang kiai menyarankan agar rencana perjodohan tidak dilanjutkan, tak sedikit masyarakat Madura yang benar-benar melaksanakan usul tersebut bahkan tanpa pertimbangan-pertimbangan lain.

Mereka juga tidak segan-segan sowan secara khusus pada satu atau beberapa kiai untuk berkonsultasi dan mencari solusi jika pernikahan sang anak tidak sarmo (harmonis) di awal-awal pernikahan. Rasa hormat dan respect yang demikian besar tersebut salah satunya dilatarbelakangi anggapan bahwa kalangan kiai merupakan golongan yang dekat dengan Tuhan sehingga dipercaya memiliki daya kasyaf untuk membaca dan atau memprediksikan hal-hal yang tidak bisa ‘diakses’ kebanyakan orang.

Dari situ, dapat dibayangkan bagaimana ‘tersanjung’nya masyarakat Madura jika seorang kiai justru berinisiatif memilihkan jodoh untuk sang anak. Kurang lebih, ketundukan terhadap kiai juga merupakan salah satu wujud relijiusitas orang Madura yang ditopang oleh anggapan bahwa kiai adalah orang yang lebih relijius sehingga saran dan masukannya patut untuk sangat dipertimbangkan. Perempuan Madura sebagai pihak yang akan menjalani pertunangan kemudian pernikahan tersebut, di sisi lain, justru hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Pertimbangan-pertimbangan dari dua keluarga dan atau saran dan masukan dari kiai dianggap telah cukup sehingga persetujuan si perempuan dirasa tidak terlalu diperhitungkan. Karenanya, tidak sedikit perempuan Madura yang mengaku baru mengetahui perjodohannya telah diresmikan dalam sebuah lembaga pertunangan setelah pertunangan tersebut terjadi. Kendati begitu, belakangan, perempuan Madura kerap kali dilibatkan dalam pengambilan keputusan meski seringkali mereka tidak benar-benar merdeka dalam menyuarakan keinginan.

Mereka cenderung hanya diberi informasi tanpa benar-benar diberi ruang untuk berunding dan menyatakan pendapat. Ini utamanya terjadi ketika perjodohan yang dialami berawal dari inisiasi seorang kiai atau jika keluarga yang hendak melamar adalah keluarga, sahabat dekat atau memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Dalam kasus pertama, mereka dituntut untuk menghindarkan orangtua dan keluarga besarnya dari rasa sungkan karena tidak mengikuti saran kiai, sedang dalam kasus kedua, mereka umumnya berusaha menghindarkan diri dari anggapan ‘jual mahal’ dan atau ‘terlalu pemilih’.

Ada juga pertimbangan lain, seperti keinginan untuk berbakti dan patuh pada orang tua serta tidak neko-neko seperti yang dialami Fitriana Utami Dewi ketika ia tidak punya pilihan lain selain manut terhadap keputusan yang telah dicapai keluarganya dan keluarga (mantan) calon suaminya.

Pertunangan semacam ini tetap menjadi pilihan utama masyarakat Madura hampir di semua kalangan dengan berbagai pertimbangan utamanya untuk menemukan kecocokan antarcalon mempelai sebelum melangkah pada jenjang yang lebih serius. Namun demikian, karena pertunangan bukanlah jaminan terjadinya sebuah pernikahan mengingat masyarakat Madura juga mengenal tradisi gagalnya pertunangan, tidak sedikit perempuan Madura yang segera dinikahkan tak lama setelah kesepakatan dua keluarga tercapai atau diresmikannya pertunangan, utamanya mereka yang dipandang telah cukup umur. Kasus- kasus yang demikian kerap terjadi bahkan ketika si perempuan belum mengetahui bahwa hari-H pernikahannya telah ditentukan.

Hal yang menjadi unik di sini adalah fenomena belakangan di mana tidak sedikit para putra maupun putri kiai dan atau tokoh masyarakat yang justru menginisiasi pernikahannya sendiri. Tingkat pendidikan anggota keluarga serta suasana keluarga yang demokratis adalah dua hal yang sedikit banyak melahirkan fenomena tersebut. Di sisi lain, tradisi semacam ini juga mulai banyak ditemukan di kalangan luar pesantren, khususnya masyarakat perkotaan. Ditopang oleh modernisme kemudian berubahnya pola pikir masyarakat dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pola yang demikian tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Namun demikian, tradisi perjodohan tetap bertahan pada masyarakat pedesaan khususnya masyarakat agraris yang secara geografis maupun kultural dekat dengan tokoh agama dan merupakan masyarakat sosial-ekonomi menengah ke bawah.

Selain ditopang oleh tetap kuatnya pengaruh kiai dalam masyarakat, berbagai cerita pernikahan atas inisiasi dari pihak mempelai yang belakangan kandas di tengah jalan juga turut memperkuat tradisi tersebut. Beberapa hal tersebut kemudian turut melanggengkan kearifan lokal masyarakat Madura yang tunduk patuh pada kiai dalam sebagian besar aspek dalam kehidupan mereka.

Betapapun tampak kurang fair, tradisi perjodohan yang diinisiasi kiai atau orang tua yang masih dialami sebagian besar perempuan Madura tidak jarang membawa kebaikan bagi si perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mendapatkan suami idaman dari pernikahan yang diawaliu prejodohan dan menjalani kehidupan berkeluarga dengan kebahagiaan berlimpah.  Apalagi, konsep tabarruk (mengambil barokah) dari kiai dan atau orang tua juga turut membentuk pola pikir dan perilaku masing-masing pasangan diresmikan menjadi problem tersendiri yang seakan memperburuk keadaan ketika perempuan hampir tidak bisa mengatakan ‘tidak”.

Dalam masyarakat Madura yang masih memegang kuat tradisi perjodohan, perempuan secara individu memiliki kekuatan yang lebih minim untuk menyatakan penolakan baik sebelum pertunangan diresmikan atau di tengah masa pertunangan. Pihak perempuan dan keluarganya harus memiliki alasan yang benar-benar kuat untuk menggagalkan sebuah pertunangan, semisal karena si calon mempelai lelaki diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain atau melakukan hal-hal yang tidak diterima norma-norma etis masyarakat.

Jika penolakan tanpa alasan semacam itu terjadi, maka yang bersangkutan tidak hanya akan dikenai sanksi sosial, akan tetapi juga sanksi moral karena dianggap tidak mematuhi orangtua, kiai dan atau tokoh masyarakat, agama serta merusak tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat.  Tidak jarang dampak tersebut melebar hingga di tingkat keluarga besar sehingga seluruh anggota keluarga seolah-olah merasa ikut menanggung malu atas kejadian tersebut. Hal yang cukup mengherankan di sini adalah karena keadaan yang sama tidak terjadi pada calon mempelai laki-laki yang berinisiatif menyudahi sebuah pertunangan.

Keadaan ini menjadi semacam sisa- sisa dari sistem patriarki yang meski belakangan mulai menyurut, tetap meninggalkan bekas- bekas pengaruhnya dalam masyarakat Madura. Meski demikian, ada banyak kearifan lokal yang unik dalam tradisi pertunangan di Madura yang sekaligus menunjukkan benih-benih semangat egalitarianism bagi perempuan.

Perempuan Madura dalam Lembaga Pertunangan

Peresmian pertunangan pada masyarakat Madura umumnya dikemas secara seremonial sesuai dengan kesepakatan dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Dalam banyak hal, upacara pertunangan yang demikian hampir sama dengan tradisi lamaran pada masyarakat Jawa yang berintikan acara penyematan dan penukaran cincin serta ramah-tamah dan perkenalan awal dua keluarga besar. Pada momen tersebut, calon mempelai biasanya menyalami satu persatu rombongan yang berkunjung sebagai tanda perkenalan dan ramah tamah ataupun untuk menyambut kedatangan dan atau mengantar pulang.

Perempuan Madura yang menjalani tradisi ini umumnya tidak mengikuti seluruh bagian acara dan lebih memilih berdiam diri di kamar selain pada acara penyematan cincin yang biasanya dilakukan calon mertua perempuannya. Busana yang dikenakan si perempuan dalam acara ini seringkali merupakan pemberian (calon) tunangannya yang sengaja diberikan sebelum hari H-pertunangan untuk dipakai pada momen istimewa tersebut.

Meski sekilas tampak sama, masyarakat Madura dalam hal ini memiliki karakteristik tersendiri yang cukup membuatnya berbeda dengan masyarakat Jawa atau masyarakat lain. Pertama adalah perihal cincin tanda pertunangan yang hanya disematkan pada jari si perempuan. Selain berangkat dari kebiasaan, ini juga dipengaruhi doktrin agama perihal haramnya seorang laki- laki menggunakan perhiasan emas. Masyarakat Madura yang secara umum relijius dan taat patuh pada hukum-hukum semacam itu umumnya tidak mau neko-neko bahkan emoh untuk menyiasatinya dengan mengganti jenis cincin untuk laki-laki (bukan dari emas) ataupun memberi cincin pada si laki-laki untuk disimpan dan bukan untuk dipakai. Kedua adalah mengenai kunjungan dua arah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *